Analisis Jabatan Dualisme BP Batam dan Pemerintah Kota Batam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi.

Kalau penetapan status otonomi daerah diyakini oleh pemerintah dapat semakin meningkatkan perkembangan suatu daerah dalam hal ini adalah Kota Batam, maka aspek penting yang tidak boleh dikesampingkan adalah pelaksanaan otonomi daerah itu secara nyata. Kami melihat kenyataan yang ada saat ini justru perkembangan Kota Batam tidaklah seperti yang diharapkan, yaitu dapat menjadi kota industri yang besar seperti halnya Singapura sehingga dapat menjadi salah satu lokomotif ekonomi Indonesia yang dapat diandalkan.

Dalam beberapa keadaan justru Kota Batam tertinggal jauh dari daerah–daerah lain di Indonesia yang bukan berstatus otonomi daerah. Pada mulanya Kota Batam dirancang untuk menjadi kota industri sasaran penanaman modal dari investor asing namun justru saat ini semakin kehilangan pamornya dan ditinggalkan investor satu per satu. Kota Batam yang tadinya diharapkan mampu bersaing dengan Singapura sekarang ini malah tertinggal jauh bahkan dari negara – negara Asean lainnya.

Dari beberapa kenyataan yang terjadi ini kami melihat adanya kesalahan penerapan dalam pelaksanaan status otonomi daerah. Saat ini Kota Batam mengenal 2 badan dalam mengelola kotanya, yaitu BP Batam dan Pemko Batam. Pada kenyataannya seringkali 2 badan yang sama – sama berkepentingan mengelola Kota Batam ini agar semakin maju dan berkembang malah menjadi penyebab terhambatnya kemajuan perkembangan Kota Batam. Tidak adanya keselarasan di antara 2 badan tersebut dalam penerapan peraturan dan penanganan masalah di Kota Batam adalah sumbernya.

Dan Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun  1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.

Selain berbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah  dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’ kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Dualisme pemerintahan di Kota Batam inilah yang kami akan coba bahas sehingga suatu pertanyaan siapakah yang sebenarnya berwenang mengelola Kota Batam ini dapat terjawab. Dengan mencoba memaparkan fakta–fakta yang ada semoga kebenaran dapat terungkap dan Kota Batam dapat semakin maju dan berkembang seperti harapan semula.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Landasan Hukum PB Batam dan Pemko Batam

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.

Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura. Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif (DPR RI),  tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi.

Selain berbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah  dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’ kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri dan institusi yang mengelola  di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara ‘Otorita Batam’ (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini sejalan dengan perkembangan pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk yang secara perlahan meningkat.

Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif.  Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

B.     Masalah Dualisme BP Batam dan Pemko Batam Terkait Pengambil alihan kawasan Rempang - Galang

            Berdasarkan Keppres 82/1992, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan 39 pulau kecil lain sebenarnya sudah ditetapkan sebagai wilayah kerja Otorita Batam (BP Batam). Namun karena adanya Undang Undang 53/1999 Tentang Pembentukan Kota Batam, muncul perebutan lahan. Akhirnya pada tahun 2002 pemerintah pusat memutuskan untuk membekukan hak pengelolaan lahan pulau-pulau tersebut (status quo).

Hal tersebut dikarenakan pada Undang Undang 53/1999 ada pernyataan “Pemerintah Kota Batam mengikutsertakan Otorita Batam dalam membangun Kota Batam”. Kalimat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa Pemerintah Kota Batam lebih memiliki otoritas untuk mengelola pulau-pulau di Kota Batam dibanding Otorita Batam. (Batam Pos, Edisi Selasa, 10 Februari 2015, Halaman 4).
            Selain itu, Otorita Batam juga yang membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan Pulau Batam-Rempang Galang yang saat ini dikenal dengan nama Jembatan Barelang dan menjadi salah satu icon wisata Kota Batam. Jembatan tersebut berdiri kokoh, pasti cukup banyak dana yang dikeluarkan. Itu juga mungkin alasan mengapa Otorita tidak mau melepas pengelolaan Rempang-Galang.Walikota Batam, Ahmad Dahlan, yang juga pernah menjabat Humas Otorita Batam, tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang akan mendapatkan hak pengelolaan pulau-pulau yang memiliki luas 245,83 kilometer tersebut (165,83 KM Pulau Rempang dan 80 Km Pulau Galang), namun ia tetap meminta Pemko Batam dilibatkan untuk mengelola pulau-pulau itu.
Dengan adanya hal tersebut menjadi persoalan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi.

Dengan adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi daerah ini tetap dapat dilaksanakan. Bahkan dengan adanya masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari Negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.

Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.

Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.

Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat di analisis berdasarkan Jabatan adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa kewenangan yang berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam pengembangan kota, maka kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota Batam menimbulkan konflik vertical dan horizontal, seperti :

a.             Konflik dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang dikarenakan Izin Prinsip atau Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi ini, maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam pengendalian pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena Pemko hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja

b.            Konflik dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang di wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun sekali lagi Pemko tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam karena hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.

c.             Konflik dalam Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang tegas serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di dalam penetapan jenis sarana dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk menjamin kepentingan masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut

d.            Konflik dalam Pengendalian lingkungan hidup dapat terjadi karena aturan yang memuat kewajiban investor untuk melaksanakan analisi dampak lingkungan akibat pembangunan yang direncanakannya melekat pada perizinan prinsip/fatwa planologi yang diterbitkan oleh pihak Otorita. Dengan demikian Pemko tidak memiliki otoritas untuk mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali kegiatan pemotongan bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan.

e.             Konflik dalam Pelayanan pertanahan. Salah satu masalah yang muncul akibat konflik ini adalah adanya dua jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu berupa pembayaran Pajak Bumu dan Banguna (PBB) dan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

f.             Konflik dalam Pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi, baik untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada di pihak Otorita, yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemko.

C.    KEPASTIAN HUKUM DI KOTA BATAM

Penetapan suatu kawasan dalam bentuk apapun seyogyanya akan dirancang sedemikian rupa dari segala sesuatu yang diperlukan dengan mencurahkan segala upaya dalam penataan terutama dalam pelaksanaan studi kelayakan, apabila hasil pengkajian tidak menguntungkan jelaslah persoalan ini akan sirna dengan sendirinya. Namun sebaliknya hasil pengkajian dinyatakan lulus berarti segala sesuatu yang telah diputuskan tentu telah jelas apa-apa saja yang harus dilakukan baik sarana dan prasarana dan segala sesuatu yang tertuang dalam rekomendasi dinyatakannya lulus kelayakannya.

Berdasarkan atas pemikiran ini, masing-masing negara yang akan menyusun strategi yang berkesinambung dalam membangun atas basis fundamental ekonominya. Demikian juga bagi negara kita, kepala negara sebagai pengemban amanat rakyat telah  mengeluarkan kebijakan Pembangunan Nasional berbasis penguatan fundamental ekonomi nasional berupa Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan Daerah Industri Pulau Batam seluruh wilayah Pulau Batam merupakan lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.

Atas kebijakan ekonomi ini maka lahirlah ”Otorita Batam” (sekarang Badan Pengusahaan Kawasan) diberi mandat penuh untuk mengembangkan kawasan perdagangan bebas ini yang waktu itu di dambakan sebagai lokomotif pertumbuhan industri nasional untuk membangkitkan semangat bagi daerah-daerah agar menuju era industrialisasi. Namun sangat disayangi harapan yang sedemikian muktahil tinggal kenangan berlalu.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.

Untuk adanya daya tarik bagi para investor dengan tersedianya infrastruktur yang realitas, energi tercukupi, transportasi yang baik, stabilitas perekonomian, keamanan nasional kondusif dan yang terpenting adanya jaminan perlindungan hukum bagi para investor baik keamanan, ketertiban dan kepastian hukum. Filosofi hukum dikatakan hukum itu buta sehingga dalam penegahkan hukum tidak pandang buluh, oleh karenanya ciptakanlah hukum yang baik agar orang-orang taat dan apabila hukum tidak konsisten (tidak baik) orang-orang cenderung tidak patuh dan mengabaikan akibatnya kerancuan hukum merajarela di seputar kita.

Persoalan terakhir inilah yang akan diulas dalam goresan ini, karena persoalan kepastian hukum justru  menjadi ganjaran sistem hukum di negara kita. Caruk maruk sistem hukum di negara kita telah mewarnai gemerlap wajah hukum tersendiri hingga menjadi sorotan sinis atas ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh kita semua.

Dampak ketidakpastian hukum antara lain: pertama, Ketidakpercayaan para investor terhadap otoritas penyelenggara kawasan industri. kedua, Perekonomian cenderung merosot karena para pelaku usaha tidak simpati bahkan mencari daerah/tujuan relokasi, ketiga, Penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).



BAB III

PENUTUP

A.   KESIMPULAN


Dengan Analisis Jabatan di dapat beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme pemerintahan di Kota Batam, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri perlu segera membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita Batam yang berubah nama menjadi BP Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang menjadi wewenang masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik.

Sebagai lembaga yang berpengalaman selama ± 35 tahun dalam mengelola kota, Otorita Batam seharusnya mempertimbangkan fakta atas kewenangan otonomi yang dimiliki oleh Pemko Batam, sehingga dengan kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran yang benar-benar spesifik yang belum mampu ditangani oleh Pemko Batam.

Dan Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat

1.            Menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah

2.            Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat



DAFTAR PUSTAKA



Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,S.U. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2012

Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta, Gatra, 2007

Gentur Putro Jati – Nuria Bonita, FTZ Batam Lebih Spesial Ketimbang Bintan Karimun, Jakarta, Kontan, 15 Agustus 2007.

www.humasotoritabatam.blogspot.com, Mendagri dan Menteri ATR-Kepala BPN Bahas Status Quo Pulau Rempang dan Galang.


http://AntaraKepri.com/2015/02/11/BP Batam: Mendagri Cabut Status Lahan Rempang-Galang.








Komentar

Postingan Populer