Analisis Jabatan Dualisme BP Batam dan Pemerintah Kota Batam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967,
Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang
No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal
(investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing
setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi
kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan
berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam
menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi.
Kalau penetapan status otonomi daerah
diyakini oleh pemerintah dapat semakin meningkatkan perkembangan suatu daerah
dalam hal ini adalah Kota Batam, maka aspek penting yang tidak boleh
dikesampingkan adalah pelaksanaan otonomi daerah itu secara nyata. Kami melihat
kenyataan yang ada saat ini justru perkembangan Kota Batam tidaklah seperti
yang diharapkan, yaitu dapat menjadi kota industri yang besar seperti halnya
Singapura sehingga dapat menjadi salah satu lokomotif ekonomi Indonesia yang
dapat diandalkan.
Dalam beberapa keadaan justru Kota Batam
tertinggal jauh dari daerah–daerah lain di Indonesia yang bukan berstatus
otonomi daerah. Pada mulanya Kota Batam dirancang untuk menjadi kota industri
sasaran penanaman modal dari investor asing namun justru saat ini semakin
kehilangan pamornya dan ditinggalkan investor satu per satu. Kota Batam yang
tadinya diharapkan mampu bersaing dengan Singapura sekarang ini malah
tertinggal jauh bahkan dari negara – negara Asean lainnya.
Dari beberapa kenyataan yang terjadi ini
kami melihat adanya kesalahan penerapan dalam pelaksanaan status otonomi
daerah. Saat ini Kota Batam mengenal 2 badan dalam mengelola kotanya, yaitu BP
Batam dan Pemko Batam. Pada kenyataannya seringkali 2 badan yang sama – sama
berkepentingan mengelola Kota Batam ini agar semakin maju dan berkembang malah
menjadi penyebab terhambatnya kemajuan perkembangan Kota Batam. Tidak adanya
keselarasan di antara 2 badan tersebut dalam penerapan peraturan dan penanganan
masalah di Kota Batam adalah sumbernya.
Dan Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968
Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman
modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun
menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun
kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang
efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang
pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden
Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang
meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai
Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir
yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi
Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang
berada di sekitar pulau Rempang-Galang.
Selain berbagai Keputusan Presiden tentang
Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit
Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah dengan UU No.13 Tahun 2000)
tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam
yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah),
statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan
anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’
kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam
tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.
Dualisme pemerintahan di Kota Batam inilah
yang kami akan coba bahas sehingga suatu pertanyaan siapakah yang sebenarnya
berwenang mengelola Kota Batam ini dapat terjawab. Dengan mencoba memaparkan
fakta–fakta yang ada semoga kebenaran dapat terungkap dan Kota Batam dapat
semakin maju dan berkembang seperti harapan semula.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
Hukum PB Batam dan Pemko Batam
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan
pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967,
Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang
No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal
(investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing
setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi
kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan
berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam
menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan
peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas
Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau
Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau
Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan
perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas
wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau
kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.
Berdasarkan latarbelakang itulah
pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik
dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita
Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang
menyaingi Singapura. Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum
pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif (DPR
RI), tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga
berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai
kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun
1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden
diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi.
Selain berbagai Keputusan Presiden tentang
Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit
Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah dengan UU No.13 Tahun 2000)
tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam
yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah),
statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan
anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’
kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam
tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.
Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan
industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama,
kawasan industri dan institusi yang mengelola di Pulau Batam tidak
didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan
Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di
Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang.
Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi
dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara
‘Otorita Batam’ (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini
sejalan dengan perkembangan pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk
yang secara perlahan meningkat.
Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1983 mengenai “Pembentukan Kota
Administratif Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai
perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan
dua lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota
Administratif. Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang
menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya
dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini
selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
B.
Masalah Dualisme
BP Batam dan Pemko Batam Terkait Pengambil alihan kawasan Rempang - Galang
Berdasarkan Keppres 82/1992, Pulau
Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan 39 pulau kecil lain sebenarnya
sudah ditetapkan sebagai wilayah kerja Otorita Batam (BP Batam). Namun karena
adanya Undang Undang 53/1999 Tentang Pembentukan Kota Batam, muncul
perebutan lahan. Akhirnya pada tahun 2002 pemerintah pusat memutuskan untuk
membekukan hak pengelolaan lahan pulau-pulau tersebut (status quo).
Hal tersebut dikarenakan pada Undang Undang 53/1999 ada pernyataan
“Pemerintah Kota Batam mengikutsertakan Otorita Batam dalam membangun Kota
Batam”. Kalimat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa Pemerintah Kota Batam
lebih memiliki otoritas untuk mengelola pulau-pulau di Kota Batam dibanding
Otorita Batam. (Batam Pos, Edisi Selasa, 10 Februari 2015, Halaman 4).
Selain
itu, Otorita Batam juga yang membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan
Pulau Batam-Rempang Galang yang saat ini dikenal dengan nama Jembatan Barelang
dan menjadi salah satu icon wisata Kota Batam. Jembatan tersebut berdiri kokoh,
pasti cukup banyak dana yang dikeluarkan. Itu juga mungkin alasan mengapa
Otorita tidak mau melepas pengelolaan Rempang-Galang.Walikota Batam, Ahmad
Dahlan, yang juga pernah menjabat Humas Otorita Batam, tidak terlalu
mempermasalahkan siapa yang akan mendapatkan hak pengelolaan pulau-pulau yang
memiliki luas 245,83 kilometer tersebut (165,83 KM Pulau Rempang dan 80 Km
Pulau Galang), namun ia tetap meminta Pemko Batam dilibatkan untuk mengelola
pulau-pulau itu.
Dengan adanya hal tersebut menjadi
persoalan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana
mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan
kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan
strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi.
Dengan adanya sinergi maka tujuan awal
pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk
memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi daerah
ini tetap dapat dilaksanakan. Bahkan dengan adanya masalah ini maka investor
yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari Negara
lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat
menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke
Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam
sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F
Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi
mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar
Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.
Penurunan aktivitas industri tersebut cukup
mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam,
terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam
(Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang
kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat di
analisis berdasarkan Jabatan adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa
kewenangan yang berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam
pengembangan kota, maka kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota
Batam menimbulkan konflik vertical dan horizontal, seperti :
a. Konflik
dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang dikarenakan Izin Prinsip
atau Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi
ini, maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam
pengendalian pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena
Pemko hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja
b. Konflik
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka
Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang di
wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya
dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun sekali lagi Pemko
tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam
karena hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang
hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan
ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi
keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.
c. Konflik
dalam Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang
tegas serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di dalam penetapan jenis
sarana dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk
menjamin kepentingan masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut
d. Konflik
dalam Pengendalian lingkungan hidup dapat terjadi karena aturan yang memuat
kewajiban investor untuk melaksanakan analisi dampak lingkungan akibat
pembangunan yang direncanakannya melekat pada perizinan prinsip/fatwa planologi
yang diterbitkan oleh pihak Otorita. Dengan demikian Pemko tidak memiliki
otoritas untuk mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali
kegiatan pemotongan bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan
keseimbangan lingkungan.
e. Konflik
dalam Pelayanan pertanahan. Salah satu masalah yang muncul akibat konflik ini
adalah adanya dua jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu
berupa pembayaran Pajak Bumu dan Banguna (PBB) dan Uang Wajib Tahunan Otorita
(UWTO).
f. Konflik
dalam Pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman
modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi, baik
untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada
di pihak Otorita, yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.
Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam
tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak
investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemko.
C.
KEPASTIAN
HUKUM DI KOTA BATAM
Penetapan suatu
kawasan dalam bentuk apapun seyogyanya akan dirancang sedemikian rupa dari
segala sesuatu yang diperlukan dengan mencurahkan segala upaya dalam penataan
terutama dalam pelaksanaan studi kelayakan, apabila hasil pengkajian tidak
menguntungkan jelaslah persoalan ini akan sirna dengan sendirinya. Namun
sebaliknya hasil pengkajian dinyatakan lulus berarti segala sesuatu yang telah
diputuskan tentu telah jelas apa-apa saja yang harus dilakukan baik sarana dan
prasarana dan segala sesuatu yang tertuang dalam rekomendasi dinyatakannya
lulus kelayakannya.
Berdasarkan atas
pemikiran ini, masing-masing negara yang akan menyusun strategi yang
berkesinambung dalam membangun atas basis fundamental ekonominya. Demikian juga
bagi negara kita, kepala negara sebagai pengemban amanat rakyat telah
mengeluarkan kebijakan Pembangunan Nasional berbasis penguatan fundamental
ekonomi nasional berupa Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan
Daerah Industri Pulau Batam seluruh wilayah Pulau Batam merupakan lingkungan
kerja Daerah Industri Pulau Batam.
Atas kebijakan
ekonomi ini maka lahirlah ”Otorita Batam” (sekarang Badan Pengusahaan Kawasan)
diberi mandat penuh untuk mengembangkan kawasan perdagangan bebas ini yang
waktu itu di dambakan sebagai lokomotif pertumbuhan industri nasional untuk
membangkitkan semangat bagi daerah-daerah agar menuju era industrialisasi.
Namun sangat disayangi harapan yang sedemikian muktahil tinggal kenangan
berlalu.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.
Untuk adanya daya
tarik bagi para investor dengan tersedianya infrastruktur yang realitas, energi
tercukupi, transportasi yang baik, stabilitas perekonomian, keamanan nasional
kondusif dan yang terpenting adanya jaminan perlindungan hukum bagi para
investor baik keamanan, ketertiban dan kepastian hukum. Filosofi hukum
dikatakan hukum itu buta sehingga dalam penegahkan hukum tidak pandang buluh,
oleh karenanya ciptakanlah hukum yang baik agar orang-orang taat dan apabila
hukum tidak konsisten (tidak baik) orang-orang cenderung tidak patuh dan
mengabaikan akibatnya kerancuan hukum merajarela di seputar kita.
Persoalan terakhir
inilah yang akan diulas dalam goresan ini, karena persoalan kepastian hukum
justru menjadi ganjaran sistem hukum di negara kita. Caruk maruk sistem
hukum di negara kita telah mewarnai gemerlap wajah hukum tersendiri hingga
menjadi sorotan sinis atas ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh kita semua.
Dampak
ketidakpastian hukum antara lain: pertama, Ketidakpercayaan para investor
terhadap otoritas penyelenggara kawasan industri. kedua, Perekonomian cenderung
merosot karena para pelaku usaha tidak simpati bahkan mencari daerah/tujuan
relokasi, ketiga, Penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN).
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan Analisis Jabatan di dapat beberapa
permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme pemerintahan di Kota Batam,
maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri perlu segera
membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita Batam yang berubah nama
menjadi BP Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu menyamakan misi
bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan
masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang menjadi wewenang
masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar
kepentingan publik.
Sebagai lembaga yang berpengalaman selama ±
35 tahun dalam mengelola kota, Otorita Batam seharusnya mempertimbangkan fakta
atas kewenangan otonomi yang dimiliki oleh Pemko Batam, sehingga dengan
kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran yang benar-benar spesifik yang
belum mampu ditangani oleh Pemko Batam.
Dan Penyelenggaraan otonomi daerah harus
selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat
1. Menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber
daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,S.U. Pengantar Tata Hukum
Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2012
Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta,
Gatra, 2007
Gentur Putro Jati – Nuria
Bonita, FTZ Batam Lebih Spesial Ketimbang Bintan Karimun, Jakarta, Kontan, 15
Agustus 2007.
www.humasotoritabatam.blogspot.com, Mendagri
dan Menteri ATR-Kepala BPN Bahas Status Quo Pulau Rempang dan Galang.
http://batam.tribunnews.com/2015/02/09/mendagri-berjanji-akan-mencabut-status-quo-rempang-dan-galang.
Komentar
Posting Komentar