Hukum Bisnis
Istilah “hukum bisnis” sebagai terjemahan dari
istilah “Business Law” sangat banyak di pakai dewasa ini, baik di kalangan
akademis maupun di kalangan para artikel. Merkipun begitu, banyak istilah lain
yang sungguhpun tidak sama persis sama artinya, tetapi mempunyai ruang lingkup
yang mirip-mirip dengan istilah hukum bisnis. Istilah-istilah terhadap hukum
bisnis terebut sebagai berikut :
1. Hukum Dagang (sebagai terjemahan dari
“Trade Law”)
2. Hukum Perniagaan (sebagai terjemahan dari
commercial Law )
3. Hukum Ekonomi (sebagai terjemahan dari
“economic law”)
istilah “hukum dagang atau “hukum perniagaan”
merupakan istilah dengan cakupan yang sangat tradisional dan sangant sempit.
Sebab, pada prinsipnya kedua istilah tersebut hanya melingkupi topic-topik yang
terdapat dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) saja. Padahal, begitu
banyak topik hukum bisnis yang tidak diatur atau tidak lagi diatur dalam kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD). Misalnya, mengenai perseroan terbatas,
kontrak bisnis, pasar modal, merger dan akuisisi, perkreditan, hak atas
kekayaan intelektual, perpajakan, bisnis internasional dan masih banyak lagi.
Sementara dengan istilah “hukum ekonomi cakupannya sangat luas, berhubungan
dengan adanya pengertian ekonomi dalam arti mikro dan makro, ekonomi
pembangunan dan ekonomi sosial, ekonomi manajemen dan akuntansi, yang
kesemuanya tersebut mau tidak mau harus di cakup oleh istilah “hukum ekonomi”.
Jadi, kita dilihat dari segi batasan ruang lingkupnya, maka jika istilah hukum
dagang atau hukum perniagaan ruang lingkupnya sangat luas. Karena itu, memang
istilah yang ideal adalah “hukum bisnis” itu sendiri.
Selain itu, jika istilah “hukum dagang” atau
istilah “hukum perniagaan”, kedua istilah tersebut sudah sangat tradisional,
bahkan sudah menjadiklasik”,maka dengan istilah “hukum bisnis” penekanannya
adalah kepada hal-hal yang modern yang sesuai dengan perkembangannya yang
mutakhir. Itulah sebabnya, dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya
tersebut, istilah “hukum bisnis” saat ini lebih popular dan sangat banyak
digunakan orang, baik di Indonesia maupun di banyak Negara lain, bahkan oleh
masyarakat internasional.
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan
istilah “hukum bisnis” itu ? sebagaimana diketahui bahwa istilah “hukum bisnis”
terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu kata “hukum” dan kata “bisnis”. Banyak
definisi sudah diberikan kepada kata “hukum” meskipun tidak ada 1 (satu)
definisi pun yang dapat dikatakan lengkap dan menggambarkan arah arti hukum
secara utuh.
Sedangkan terhadap istilah “bisnis” yang
dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan
yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa
(Abdurrachman, 1991:150), dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam
risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan
(Friedman, jack P., 1987:66).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan hukum
bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum (termasuk enforcement-nya) yang
mengatur tentang tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri
atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa
dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan
usaha tertentu dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk
mendapatkan keuntungan tertentu.
Adapun yang merupakan ruang lingkup dari hukum
bisnis ini, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kontrak Bisnis
2. Jual beli
3. Bentuk-bentuk perusahaan
4. Perusahaan go public dan pasar modal
5. Penanaman modal asing
6. Kepailitan dan likuidasi
7. Merger dan akuisisi
8. Perkreditan dan pembiayaan
9. Jaminan hutang
10. Surat berharga
11. Perburuhan
12. Hak atas kekayaan intelektual
13. Anti monopoli
14. Perlindungan konsumen
15. Keagenan dan distribusi
16. Asuransi
17. Perpajakan
18. Penyelesaian sengketa bisnis
19. Bisnis internasional
20. hukum pengangkutan (darat, laut, udara,
dan multimodal)
B. Hukum Bisnis di Indonesia
Sebenarnya, dasar-dasar hukum bisnis sudah
lama sekali ada di Indonesia. Paling tidak, dasar hukum yang tertulis sudah ada
dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asa
konkodansi. Bahkan, dasar-dasar dari hukum bisnis yang sangat tradisional sudah
terlebih dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum kontrak/perjanjian
adat), atau hukum jual beli dagang secara sederhana yang mengatur interaksi
jual beli rakyat Indonesia dengan para saudagar asing kala itu, seperti dengan
saudagar-saudagar Portugis Belanda, Arab, Hindustan, dan lain-lain.
Namun demikian, dasar hukum dari hukum bisnis
di Indonesia yang tertulia adalah sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah.
2. KUH dagang yang sudah banyak berubah.
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan
Perundang-undangan yang baru.
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah.
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah.
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan
Perundag-undangan yang baru.
7. Perundang-undangan yang tidak terikat dengan
KUH Dagang maupun KUH Perdata.
Berikut ini penjelasan dari masing-masing
kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak di ubah
Masih banyak ketentuan dalam KUH Dagang yang
pada prinsipnya belum berubah yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum
bisnis, meskipun sudah barang tentu sudah banyak dari ketentuan tersebut yang
sudah usang dimakan zaman. Ketentuan-ketentua dalam KUH Dagang yang pada
prinsipnya masih berlaku adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Keagenan dan distributor (makelar dan
komisioner)
b. Surat berharga (wesel, cek dan aksep)
c. Pengangkutan laut
2. KUH Dagang yang sudah banyak berubah
Disamping itu, masih ada ketentuan dalam KUH
Dagang yang pada prinsipnya masih berlaku, akan tetapi telah banyak berubah
yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan
dalam KUH Dagang yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak
berubah adalah pengaturan tentang hal-hal berikut:
a. Pembukuan Dagang
b. Asuransi
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan
Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya, ada juga ketentuan dalam KUH
Dagang yang telah dicabut dan diganti dengan perundang-undangan yang baru
sehingga secara yuridis formal tidak berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang berbagai aspek dan hukum bisnis berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Pembukuan Perseroan
c. Reklame dan penuntutan kembali dalam
kepailitan
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah
Kemudian, masih ada ketentuan dalam KUH
Perdata yang pada prinsipnya belum berubah yang mengatur tentang berbagai aspek
dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang pada prinsipnya
masih berlaku adalah pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Kontrak
b. Jual Beli
c. Hipotik (atas Kapal)
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah
Disamping itu, masih ada ketentuan dalam KUH
Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah yang
mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis. Ketentuan-ketentuan dalam
KUH Perdata yang pada prinsipnya masih berlaku, tetapi telah banyak berubah
adalah pengaturan tentang hal sebagai berikut:
- Perkreditan (Perjanjian Pinjam_meminjam)
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan
Perundang-undangan yang baru
Selanjutnya, ada juga ketentuan dalam KUH
Perdata yang telah dicabut dan diganti dengan perundang-undangan yang beru
sehingga secara yuridis formal tidak berlaku lagi. Yakni ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang berbagai aspek dari hukum bisnis berupa:
a. Hak tanggungan (dahulu hipotik atas tanah)
b. Perburuhan
7. Perundang-undangan yang tidak terkait
dengan KUH Dagang maupun KUH Perdata
Banyak juga ketentuan perundang-undang an
Indonesia yang mengatur berbagai facet dari hukum bisnis yang tidak erikat,
baik dengan KUH Dagang maupun dengan KUH Perdata. Ketentuan yang tidak terikat
dengan KUH Perdata atau KUH Dagang tersebut, antara lain adalah
ketentuan-ketentuan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan Go Public dan pasar modal
b. Penanaman modal asing
c. Kepailitan dan likuidasi
d. Akusisi dan merger
e. Pembiayaan
f. Hak atas kekataan intelektual (HAKI)
g. Anti monopoli
h. Perlindungan konsumen
i. Penyelesaian sengketa bisnis
j. Bisnis internasional
KONTRAK BISNIS
A. Pengertian
Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah
kontrak ini sering disebut dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari
“agreement” dalam bahasa inggris, atau “overeenkomst” dalam bahsa Belanda. Di
samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah “kontak”, yaitu
istilah “transaksi” yang meerupakan terjemahan dari istilah Inggris
“transaction”. Namun demikian, istilah “kontrak” (sebagai terjemahan dari
istilah Inggris “contract”) adalah paling modern, paling luas dan paling lazim
digunakan, termasuk pemakainnya dalam dunia bisnis, dan hukum yang mengetur
tentang kontak itu di sebut dengan “hukum kontrak”.
Ada beberapa pengertian yang dimaksud dengan
kontrak:
- kontrak
adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)
diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi,
atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell, 1968: 394).
- kontrak
sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum
memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh
hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas
yang harus dilaksanakan.
- Kontrak
adalah suatuu perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih(KUH Perdata Pasal 1313)
- Kontrak
adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal
". (Subekti, 1983:1)
B. Syarat Sahnya Kontrak
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa
perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah yaitu haruslah memenuhi
persyaratan yuridis tertentu, Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani
Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat
sahnya perjanjian:
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah
adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara
pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila
kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang
membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek
hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak.
Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak,
orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit
jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18
(delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila
seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk
membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur
kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh
samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada
pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah
mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya
berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual
beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab Yang Dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau
kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan
norma-norma tersebut. KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada
pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis
maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal
1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
C. Asas Asas Kontrak
Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum
dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah
peraturan-peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak
dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak
berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku
adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat
umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak
termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan
mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut hukukm yang
mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah
hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang dimaksud
dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau
mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam
suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of
contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya
asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu
kontrak para pihak paa prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat
kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut:
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh undang-undang
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang
berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah ”pacta sunt servanda” mempunyai arti
bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak ini
ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara
penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word
is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang
talinya, jika manusia dpegang mulutnya, mengikat secara penuh atas kontrak atas
kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum kekuatanya dianggap sama saja
dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Oleh karena itu, apabila
suatu pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi
atau bahkan pelaksaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari
suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah
dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun
tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu,
yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang
menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat,
tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata,
sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya,
maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak
obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak
kebendaan atau sering disebut serah terima (levering). Hukum kontrak di
Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui
asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya
suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara
terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya
di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan
levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem obligatoir,
dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
D. Menyusun Kontrak Bisnis
Banyak orang bisnis tidak menyadari bagaimana
pentingnya peran yang dimainkan soleh seorang business lawyer dalam suatu
negosiasi transaksi bisnis. Sehingga, mereka baru daatang ke lawyer setelah
timbul sengketa. Padahal dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat
dielakkan jika saat permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan
lawyer. Keadaan nasi yang telah menjadi bubur ini sangat sering terjadi dewasa
ini. Baik jika terjadi negosiasi antara sesama orang bisnis domestik, apalagi
jika salah satu pihaknya adalah orang asing. Bahkan, jika salah satu pihak
adalah pihak asing, pihak domestik mestilah ekstra hati-hati. Karena biasanya
pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan lawyernya,
sehingga kedudukannya dari segi legal sudah benar-benar safe and kuat.
Celakanya, dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak,
semakin besar pula ancaman terhadap pihak lainnya.
1. Teknik Negosiasi
Agar negosiasi bisnis berjalan dengan baik,
maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk
beluk bisnis plus lawyer. Mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat
dari aspek bisnisnya, sementara lawyer akan melihat dari aspek hukum dan
formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para lawyer sendiri
dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi juga menguasai
dasar-dasar bisnis yang dinegosiasikan. Misalnya, kalau negosiasi mengenai
kontrak joint veture produksi barang barang elektronik, lawyer tersebut juga
harus mengerti tentang bisnis elektronik yang bersangkutan. Tidak perlu
mendetil, tetapi cukup dasar-dasarnya saja.
Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan
pihak asing. Lawyernya juga dituntut untu bisa berbahasa inggris secara
sempurna. Speaking, listening, writing and reading. Banyak juga terjadi dalam
praktek , ketika lawyer domestik berhadapan mitra negosiasinya yang membawa
lawyer asing, maka pihak domestic hanya “nrimo” saja sambil angguk-angguk
kepala. Ini biasanya disebabkan karena penguasaan bahasa inggris yang minim,
tidak menguasai teknis dan bisnis bidang yang di negosiasi, ataupun kurang
persiapan sebelum datang ke meja negosiasi.
Malahan dewasa ini, bagi seorang lawyer yang
datang ke meja negosiasi, diharapkan pula untuk bisa cepat dan mulus. Karena
itu, apakah law firm ataupun lawyer sendiri sudah mesti menyisihkan dananya
untuk membeli perangkat portable computer, yang memang sudah merupakan
kebutuhan pokoknya.
Bahwa yang namanya negosiasi itu mempunyai
teknik-teknik tersendiri. Hal itu disamping merrupakan bakat, tetapi juga dapat
dipelajari, lewat pengalaman orang lain ataupun lewat pengalaman sendiri. Harus
dihindari adanya situasi “kalah-menang” sebagai akibat negosiasi. Negosiasi
“win to win” sudah merupakan mode dalam dunia bisnis.
Sering kali terjadi, para lawyer bertahan
dengan kaku pada masalah-masalah yang tidak prinsipil. Bahkan dengan
masalah-masalah marginal tersebut, bisa menyebabkan negosiasi gagal. Ataupun
terpaku pada suatu deadlock. Padahal justru yang dituntut pada seorang lawyer
adalah suatu alternatif pemecahan masalah. Semakin banyak alternatif, semakin
baik bagi suatu negosiasi. Bagi lawyer asing, hal tersebut tidak menjadi
masalah, karena sudah sejak di bangku kuliah di fakultas hukum, mereka
dirangsang untuk mencari sebanyak mungkin alternatif. Lain halnya dengan lawyer
domestik, yang di bangku kuliah hukum diajari secara dokmatis, tanpa merangsang
adanya alternatif bagi mahasiswa. Dan juga dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang cenderung totaliter, di mana nilai budaya di sini kurang bisa menerima
alternatif lain atau kurang bisa menghargai pendapat orang lain selain dari
pendapat sendiri. Jika orang-orang seperti ini duduk di meja preundingan,
sangat besar kemungkinan untuk terjadinya deadlock dari suatau negosiasi
2. Bahasa Kontrak
Kecekatan merumuskan kontrak dngan baik juga memerlukan
keahlian tersendiri. Dalam hal ini, kepada lawyer diharapkan untuk bisa
menguasai teknik-teknik legal drafting. Apabila kontrak tersebut berbahasa
Indonesia, menjadi masalah karena bahasa Indonesia belum cukup berkembang, dan
belum banyak menyediakan bahasa baku untuk suatu kontrak. Karena itu, kepada
lawyer diharapkan untuk dapat merumuskan kontrak dengan acuan sebagai berikut :
1. Bahasa yang terang sehingga tidak terjadi
ambiguity
2. kalimat yang terang
3. memakai bahasa yang baik dan benar
4. sebanyak mungkin menggunakan terminology
yang sering dipakai dalam bahasa kontrak
5. bahsa terjemahan kadang-kadang tidak dapat
dielakkan dan harus dicari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Misalnya kata “whereas” sering diterjemahkan dalam kontrak sebagai “bahwa”,
atau sitilah lain “factoring” diterjemahkan sebagai “anjak piutang”
Apabila kontrak harus dibuat oleh/di hadapan
notaris, maka terdapat pula apa yang namanya bahasa notaris yang khas itu.
Umumnya merupakan bahasa terjemahan dari bahasa Belanda. Bahasa khas bahkan
kaku dari notaris tersebut kental sekali terlihat pada bagian komparasi atau
akhir akta. Misalnya akta dimulai dengan “Pada hari ini … telah hadir di
hadapan saya, Badu, sarjana Hukum, notaris di Jakarta … telah saya, notaries,
kenal”.
Mestinya bahasa notaries seperti tersebut
dapat disederhanakan sehingga sesuai dengan kaidah bahsa Indonesia yang benar.
Tetapi entah mengapa, para notaries sangat enggan melakukannya.
Jika kontrak harus dibuat dalam bahasa
inggris, masalah akan menjadi suit, karena di samping para lawyer harus
menguasai bahasa inggris dengan baik, pemilihan kata-kata yang selektif, tetapi
juga banyak frase kata bahasa inggris kontrakk yang sudah baku bahkan absolute
(kuno). Hal ini tidak dapat dielakkan, karena diluar negeri sendiri
dipraktekkan orang, misalnya terdapat jargon-jargon seperti witnesseth,
whereas, In witness, limitation, hereinafter, theretofor dan masih banyak lagi.
Jargon-jargon tersebut tidak dipergunakan dalam bahasa inggris standar sehari-sehari.
Para lawyer di samping harus mengetahui dengan persis apa arti kata-kata
tersebut, juga harus mengetahui bagaimana dan di mana penggunaannya.
Dalam suatu negosiasi kontrak, berlaku suatu
dail seperti yang berlaku pada olahraga, bahwa permainan di kandang sendiri
jauh lebih menguntungkan daripada bermain di kandang orang. Prinsip ini berlaku
terhadap dua hal (1) Tempat negosiasi diusahakan di tempat tinggal kita, (2)
Usahakan draft kontrak nya kita yang buat, sedangkan pihak lain cukup
meriviewnya. Dalam praktek, jika kontraknya dalam bahasa Inggris lawyer
domestik sering hanya diberikan kesempatan meriview saha terhadap kontrak yang
sudah di draft oleh pihak asing. Sebabnya tentu kendala bahasa. Anehnya, bahkan
lawyer domestik sepertinya senang dengan cara seperti ini. Padahal dia telah
dipaksa untuk menari dengan irama gendang pihak asing. Yang harus diingat bahwa
siapa yang men-draft suatu kontrak, maka 75% dia sudah memenangkan
pertandingan.
3. Detil Kontrak
Sejauh mana detil harus dimasukkan dalm suatu
kontrak? Rumus yang berlaku umum adalah semakin banyak detil yang dimasukkan
dalam suatu kontrak semakin baik. Karena kalu kepada masalah sekecil-kecilnya
sudah disetujui, kemungkinanuntuk timbul dispute di kemudian hari dapat ditekan
serendah mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalm dunia bisnis terdapat
kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan. Hanya saja demi alas an
praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena (1)
yang dilakukan baru ikatan dasar, dimana para pihak belum bisa berpartisipasi
atau belum cukup waktu untuk memikirkan detil-detilnya. Kontrak seperti ini
sering disebut Memorandum of Understanding (MOU), atau Basic Agreement, atau
Preliminary Agreement, (2) Agar terlebih dahulu ada suatu komitmen di antara
para pihak, sementara detil-detilnyadibicarakan di kemudian hari. Unruk itu
disepakati dahulu prisip-prinsip dasar dari suatu kontrak. Sedangkan terms dan
conditions akan dibicarakan di kemudian hari. Hal tersebut sering klai terjadi
terhadap kontrak-kontrak tertentu, seperti terhadap kontrak konstruksi
misalnya. (3) Karena kurang pengalaman/pengetahuan dari lawyer, terkadang tidak
mampu untuk mengaturnya secara detil. Karena itu, diaturlah hal-hal pokok saja.
Sementara detil-detilnya diatur kemudian sambil jalan dalm bentuk addendum atau
supplement. Sehingga terciptalah kontrak tipis tetapi tebal lampirannya.
Kontrak berbadan kecil tetapi berbuntut panjang seperti ini sangatlah tidak
dianjurkan, mengingat para pihak yang itikadnya kurang baik dan berada di atas
angin, dapat dengan mudah mengelak dari kewajibannya, dengan melakukan tough
negotiation terhadap suatu addendum atau bahkan tidak mau sama sekali
menandatangani addendum tersebut.
Apabila sebelum suatu kontrak yang lengkap
disepakati “say hello” dahulu dengan menandatangani suatu MOU, banyak pihak
meragukan sejauh mana MOU tersebut mengikat secara hukum. Ada Negara-negara
yang menganggap MOU hanya semacam gentlement agreement sehingga kekuatan hukumnya
tidak sekuat kontrak biasa.
sistem hukum di Indonesia tidak mengenal
istilah gentlement agreement. Prisip hukum yang berlaku adalah agreement is
agreement. Tidak peduli apapun istilah yang dipakai. Adal syarat-syarat suatu
kontrak, antara lain seperti tersebut dalam pasal 1320 KUH Perdata sudah
dipenui, maka perjanjian tersebut sudah mengikat secara hukum, walaupun dibuat
dalam bentuk yang sangat sederhana sekalipun. Bahkan kontrak-kontrak lisanpun
sama kekuatan mengikatnya. Hanya jika kontrak dibuat secara lisan, terdapat
kesulitan dari segi evidensinya. Karenanya, hal ini sangat tidak dianjurkan.
Pasal 1320 KUH Perdata tersebut menentukan
bahwa suatu kontrak sudah sah jika terpenuhi syarat (1) adanya kesepakatan
kehendak, (2) cakapp berbuat (cukup umum, waras), (3) hal yang spesifik, (4)
sebab yang diperbolehkan. Jika keempat syarat tersebut sudah dipenuhi, maka
kontrak sudah sah dan mengikat secara hukum. Tidak peduli apapun nama yang
diberikan kontrak yang bersangkutan. Apakah namanya agreement, contract, atau
cuma MOU saja. Dalam praktek, untuk menghindari keragu-raguan dari kekuatan
hukum suatu MOU, sering juga dihindari pemakaian nama MOU, tetapi memakai nama
netral seperti cooperation Agreement atau Agreement saja.
Dalam uraian di atas terlihat banyak
persyaratan diperlakukan bagi seorang lawyer untuk dapat menangani suatu
kontrak bisnis. Itu sebabnya sangat sedikit lawyer yang benar-benar dapat
menyusun/negosiasi atau meriview kontrak, terutama yang bersifat Internasional,
yang banyak berkeliaran adalah mereka yang mengaku dirinya Business lawyer,
padahal sama sekali tidak mengerti seluk beluk kontrak dan negosiasi.
E. Pemakaian Bahasa Dalam Kontrak
Bahasa kontrak dapat dilihat dari dua segi,
yaitu bahasa kotrak notaris dan bahasa kontrak bawah tangan. Untuk bahasa
kontrak notaris, yang khas, antara lain, adanya bagian-bagian kontrak seperti
bagian komparasi atau penutup yang dibuat dalam bahasa yang tidak berjalan
mulus. Hal ini disebabkan banyak dari bahasa tersebut merupakan terjemahan
bahasa Belanda. Seyogyanya bahasa yang baku tersebut dapat disesuaikan dengan
bahasa Indonesia yang lebih baik dan benar.
Selanjutnya akan di telaah bahasa kontrak yang
berlaku baik kontrak notaries atau bukan, dengan mengambil contoh kontrak bawah
tangan tentang Perjanjian Sewa Beli. Beberapa karakteristik dari bahasa kontrak
dapat disebutkan, antara lain:
1. Berlebihan
Sering bahasa kontrak itu terlalu panjang dan
berbelit-belit, sehingga terkesan berlebihan. Sampai batas tertentu, hal itu
masih bisa diterima, karena memang tidak bisa dielakkan. Tapi, bila tidak
mempunyai tujuan khusus atau tujuannya agar kontrak tersebut terkesan canggih,
hal demikian sebaiknya dihindari. Bahasa yang redundant ini dipakai dalam
kontrak, antara lain, dengan alasan sebagai berikut:
a. Mempertegas atau memperinci makana dari
kalimat yang bersangkutan. Misalnya, terdapat frase …untuk dan atas nama
dirinya sendiri. Dalam hal ini diperbedakan antara untuk dirinya sendiri dan
atas nama dirinya sendiri karena kemungkinan ada kasus seorang bertindak atas
nama sendiri tapi untuk kepentingan orang lain. Karena itu, sudah menjadi
bahasa baku dalam kontrak untuk menggabung kedua penggalan kalimat tersebut
menjadi “untuk dan atas nama dirinya sendiri”.
b. Berfungsi sebagai double cover. Kalimat
berlebihan sering juga dipakai dalam kontrak untuk memberi sebanyak mungkin
perlindungan kepada para pihak, ibarat pemakaian double cover dalam tinju.
Contohnya, diintroduksikannya pranata hukum kuasa mutlak yang diberikan oleh
pembeli kepada penjual. Terlepas dari status hukum kuasa mutlak yang masih
dalam perdebatan, dalam konteks perjanjian sewa beli, pemberian kuasa oleh
pembeli kepada penjual jelas berlebihan. Sebab seperti juga disebutkan dalam
kontrak bersangkutan, slama pembeli belum melunasi semua harga cicilan, benda
tersebut secara hukum masih teteap milik penjual, sehingga tidak memerlukan
surat kuasa dari (pembeli) yang belum menjadi miliknya. Yang diperlukan
hanyalah sekadar “izin” saja dari pembeli yang memang berkuasa atas benda
tersebut. Bila perlu izin tersebut tidak boleh ditahan oleh pembeli. Jadi
mutlak harus diberikan.Tapi, dengan izin yang dirasakan belum kuat bagi
penjual. Karena itu, diintroduksikan pranata kuasa mutlak. Untuk kepentingan
perlindungan para pihak, dalam hal ini pihak penjual, tentu walaupun berlebihan,
hal tersebut bermanfaat digunakan.
2. Pilihan Kata Menggigit
Berbeda dengan bahasa ilmiah yan gcenderung
datar, pilihan kata dalam kontrak cenderung tegas, ekstrem, bahkan bombastis.
Hal ini dilakukan agar tertutup kemungkinan penafsiran macam-macam dari kata
tersebut, sehingga merugikan salah satu pihak. Sejauh dapat
dipertanggungjawabkan dari segi pengertiannya, hal tersebut mestinya dapat di
pertahankan. Contohnya, pemakaian kata “mutlak” dalam kaliat : … mutlak sebagai
ganti rugi…, atau “semata-mata” dalam …berhak sematamata menurut
pertimbangannya sendiri.
3. Acuan Yang Jelas
Agar tidak timbul penafsiran yang ambisius,
maka setiap kata yang punyak acuan ke kata/kalimat lain harus jelas kata
tersebut merefer kemana. Dalam hal ini, di dalam kontrak sering muncul dalam
tiga hal:
a. kata ganti
Di dalam kontrak, dalam banyak hal, pemakaian
kata ganti dielakkan, disangsikan akan merefer ke kata/kalimat lain selain dari
yang dimaksudkan semula. Karena itu, dalam kontrak jarang kita temukan
kata-kata “dia”, “nya”, dan lain-lain.
b. Kata sambung
Agar jelas acuannya, sering dalam kontrak
pemakaian kata sambung tertentu terasa aneh. Sangat jarang, misalnya, di
gunakan kata “yang mana”, ”di mana”, “dengan nama”, dan sebagainya. Contoh,
“…dari jumlah uang…, jumlah uang mana sebagai… frase jumlah uang mana dalam
kalimat tersebut menurut bahasa Indonesia biasa dapat diganti dengan “di mana”
atau “yang mana” tapi tidak cocok untuk bahasa kontrak.
c. Kata acuan lainnya
Selain dari kata ganti dan kata sambung,
terdapat kata acuan lain yang jarang digunakan dalam kontrak, atau meskipun
digunakan, terdapat kata acuan lain yang jarang digunakan dalam kontrak. Atau,
kalaupun digunakan, ditempatkan bersama-sama dengan petunjuk lainnya agar jelas
merefer ke mana. Kerena itu, dalm kontrak jarang dipergunakan kata-kata
tersebut, tersebut di atas, karena itu, karenanya, dan sebagainya, kecuali
bersama-sama dengan petunjuk lain. Contoh, dipakai frase “… sepeti diatur dalam
Pasal 8 di bawah ini”. Tidak , misalnya, digunakan saja frase ”seperti tersebut
di bawah ini” atau “ seperti akan disebut selanjutnya”. jika di dalam kontrak
digunakan kata “tersebut”, maka mesti dipertegas sehingga menjadi, misalnya ”
tersebut dalam pasal berapa”
4. Bahasa Terjemahan
Di samping dalam bagian tertentu dari akta
notaris yang terasa sekali terjemahannya dari bahasa Belanda, dalam materi
kontrak (notarial atau bukan) terasa ada kata-kata yang merupakan terjemahan,
umumnya dari bahasa Inggris. Bahasa terjemahan tersebut kadang memang
diperlukan. Biasanya karena masih belum ada padanannya yang baku dalam bahasa
kontrak Indonesia.
Di samping itu sering terdapat kata-kata dalam
bahasa inggris yang sangat terkait dengan sistem hukum Anglo-saxon, sehingga
tidak relevan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh , kata-kata …terlebih dulu
menerangkan…(bagian pembukaan) adalah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
kuno witnesseth. Kadang-kadang diterjemahkan pula menjadi mukaddimah atau
pendahuluan. Tapi, kata-kata Inggris seperti in witness whereof atau signed
sealed and deliver yang sering dimuat di akhir kontrak yang berasal dari Negara
Anglo-saxon, kiranya sama sekali tidak diperlukan sehingga tidak perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
5. Istilah khusus dalam hukum/kontrak
Banyak juga kata-kata yang khusus dipakai
dalam hukum/kontrak tapi jarang dipergunakan dalam bahasa Indonesia
sehari-hari.
Contoh frase “memelihara mesin sebagai kepala
rumah tangga yang baik”. Istilah tersebut sudah lazim ditemukan dalam dunia
hukum, sehingga tidak dapat dielakkan dalam kontrak. Contoh lain adalah kata
force majeure, wanprestasi, dan sebagainya.
6. Mempermudah operasionalisasi kotrak
Hal lain yang penting diperhatikan adalah
bagaimana agar pelaksanaan kontrak ikmudian hari tidak mendapat benturan yang
berarti, baik karena penggunaan bahasa yang tidak benar ataupun karena adanya
konsep tertentu yang tidak jelas.
Contoh adanya ketentuan tentang “denda
keterlambatan” bagi para pihak yang terlambat melaksanakan prestasinya.
Sebenarnya yang dimaksud dengan “denda” disini tidak lain dari “ganti rugi”
saja. Hanya agar perhitungan ganti rugi jelas adanya dan tidak menimbulkan
disputes di kemudian hari, maka ditetapkan ganti rugi berupa fixed amount untuk
tiap hari keterlambatannya. Ini dalam kontrak dagang disebut “denda”. Dalam
hukum Anglo-saxon hal demikian sering disebut dengan liquidated damages.
7. Mencari pedoman walaupun kabur
Kelaziman lain dalam kontrak adalah
menggunakan istilah-istilah yang lbih merupakan kompromi dari dua kepentingan
yang berbeda. Biasanya istilah tersebut mempunyai makna yang kabur. Kadang
istilah demikian dipergunakan sebagai patokan belaka. Tentunya kalau bisa
dicari/cara yang leibh konkret dan jelas ketimbang kata yang kabur seperti itu
jauh lebih baik. Walaupun harus diakui bahwa hal itu tidakk selamanya dapat
dilakukan.
Contoh, pemakaian kata “yang sepantasnya”.
Tentunya masih bisa dipertanyakan, sejauh mana yang dikatakan pantas. Dalam
kontrak perjanjian sewa beli tersebut pihak penjuallah yang menentukan berpa
pemotongan harga dalam hal pembayaran lebih cepat dari semestinya. Tapi, untuk
menghindari kemungkinan penetapan besarnya pemotongan sepihak yang rendah,
dipakailah kata “sepantasnya”.
Sesunguhpun begitu, tetap dianjurkan agar
sedapat mungkin dibuat lebih kokret. Misalnya, pengertian “sepantasnya”
tersebut diganti dengan “sekian persen”. Kata lain yang berkonotasi serupa
adalah selayaknya, sepatutnya, masuk akal dan sebagainya. Atau, dalam bahasa
Inggris, misalnya , kata reasonable, in good faith, properly, ordinary wear and
tear, dan sebagainya.
8. Agar lebih khidmat atau menyeramkan
Agar para pihak selalu menjunjung tinggi
setiap janji yang telah dibuat, maka ada usaha untuk membuat kesan seolah-olah
perjanjian tersebut mesti dihormati atau ditakuti.
Contoh, frase “telah ditandatangani dengan
materai yang cukup” ungkapan dengan materai yang cukup mestinya tidak perlu
disebutkan karena materainya jelas terlihat ditempel pada perjanjian tersebut.
Dalam hal ini tujuan penyebutan itu adalah agar para pihak lebih menghormati
atau lebih takut serta tidak meragukan keabsahan kontrak yang bersangkutan. Ini
diharapkan agar para pihak tidak mudah melakukan wanprestasi terhadap kontrak
yang bersangkutan. Demikian juga dengan kata-kata “bertanggung jawab secara
hukum”, “bertanggung jawab penuh”, ataupun adanya usaha untuk meregistrasi di
depan notaris dengan stempel notaris berwarna merah dan berlambang burung
garuda.
PROSES
GO PUBLIC PERUSAHAAN
A. Pendahuluan
Ketika suatu perusahaan ingin ganti baju dari
suatu perusahaan tertutup (close corporation) kepada perusahaan Go Publik
(Public Corporation), sederet prosedur harus dilalui dan sejumlah dana mesti
disisihkan untuk keperluan tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 22 dari Undang-Undang
Pasar Modal No.8 Tahun 1995, yang merupakan acuan utama kegiatan pasar modal,
perusahaan publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki
sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal
setor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) atau suatu
jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Jika suatu perusahaan akan go public, haruslah
siap mengambil resiko, disamping siap pula menikmati manfaat daripadanya.
Diantara keuntungan dari perusahaan yang go public adalah :
1. Masuknya fresh money yang melimpah
2. Net worth perusahaan akan lebih baik
sehingga alternatif perolehan dana selanjutnya akan lebih banyak. Misalnya
lewat right issue.
3. Memungkinkan ekspansi perusahaan lewat
akuisisi tanpa harus membayar cahs, tetapi lewat pengisuan saham.
4. Perusahaan akan lebih terkenal, dengan
prestise yang tinggi, sehingga operasi bisnisnya lebih baik dan merketnya akan
lebih meluas.
5. Likuidasi perusahaan dan saham akan lebih
baik, karena setiap saat perusahaan/pemegang saham dapat memperjualbelikan
sahamnya.
6. Lebih menjamin kelestarian perusahaan,
karena terhindar dari mismanagement. Sebab, setiap aktivitas yang menyimpang
dalam suatu perusahaan publik, langsung disorot oleh publik.
Disamping keuntungan terdapat juga kerugiannya
yang mesti diwanti-wanti oleh perusahaan yang akan go publik, walaupun kerugian
tersebut secara umum jauh tidak berarti dibanding dengan keuntungan yang
diperoleh. Kerugian-kerugian go publik antara lain :
1. Keharusan membuka semua informasi dapat
menguntungkan kompetitor dan sangat mengekang pihak pemilik ataupun
pengurus/komisaris.
2. Pemilik bisnis kehilangan fleksibilitasnya
dalam berbisnis, karena adanya keharusan mendapat izin tertentu dari pemegang
saham, termasuk pemegang saham publik atau laporan atau izin dari otoritas
tertentu terhadap tindakan tertentu.
3. Beberapa alternatif bisnis bisa dilepas
oleh perusahaan karena ditakuti akan berdampak negatif terhadap fluktuasi harga
di pasar saham.
4. Masalah administrasi dan dana tambahan yang
mesti dikeluarkan terutama pada proses go publik.
5. Kehilangan control dan dari pemegang saham
sendiri, terutama jika porsi saham yang dijual terlalu besar.
6. Kecenderungan pemberian deviden yang besar,
sehingga pembayaran pajak tinggi dan investment dari perusahaan mengecil.
Sementara itu, banyak pihak terlibat ketika
suatu perusahaan melangkah go public. Ada notaris, akuntansi, appraisal,
underwriter, konsultan hukum dan lain-lain. Mereka terlibat sesuai bidangnya
masing-masing dengan tanggung jawabnya masing-masing pula. Tetapi adalah juga
reasonable, jika dalam hal-hal tertentu, satu atau dua diantara mereka bertanggung
jawab bersama-sama.
Disamping itu, pmerintah juga ikut campur
secara cukup dalam terhadap perusahan baik pada proses go public maupun setelah
menjadi perushaan public. Hal ini disebabkan karena suatu perusahaan public
menyangkut kepentingan mesyarakat investor yang meluas bahkan ikut menjadi
andil terhadap baik tidaknya kerugian ekonomi secara makro. Karena itu, sebagai
pemerintah dalam Negara social welfare, pmerintahan bertindak untuk dan atas
nama masyarakat untuk masuk dan terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan masyarakat sacara luas.
B. Restrukturisasi Anggaran Dasar
Sebelum suatu perusahaan go public, anggaran
dasar perusahaan harus direkstrukturisasi terlebih dahulu sehingga sesuai
dengan persyaratan perusahaan go publik. Maka perlu dikawinkan di antara
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. ketentuan dalam KUHD tentang PT
b. Petunjuk-petunjuk dari Departemen kehakiman
tentang akta pendirian PT
c. Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
pasar modal
d. kebiasaan dalam praktek PT dan praktek
pasar modal
Diantara yang acapkali direkstrukturisasi
adalah masalah kapitalisasi perusahaan. Untuk bisa go public tentunya modal
perusahaan harus relatif besar, mengingat akan tidak efisien jika saham yang
dijual di bursa nanti dalam jumlah kecil. Untuk itu dilakukan peningkatan modal
dasar perusahaan. Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, modal
disetor dari perusahaan publik tidak boleh kurang dari Rp 3.000.000.000,-,
disamping itu, telah menjadi standar dari anggaran dasar PT go public bahwa
issud shares haruslah sama dengan paid up capital. Maksudnya tidak boleh ada
saham yang ditempatkan yang tidak disetor penuh. Sehingga struktur modalnya
menjadi modal dasar yang terdiri dari saham portepel dan saham setor. Nilai
nominal saham juga harus diubah sehingga sesuai denga ketentuan pasar modal,
yaitu Rp 1.000,- atau Rp 500,- setiap nilai nominal saham PT biasa yang biasanya
jauh diatas Rp 1.000,- atau Rp 500,- harus diturunkan terlebih dahulu, sehingga
jumlah lembar sahamnya menjadi membengkak. Walaupun sudah semakin terasa bahwa
nilai Rp 1.000,- atau Rp 500.- itu terlalu kecil untuk ukuran sekarang,
sehingga menjadi tidak efisien.
Personalia dalam perusahaan juga biasanya
menjadi titik focus dalam restrukturisasi anggaran dasar. Mereka yang mempuyai
latar belakang dan moral yang “cacat” mesti telebih dahulu disingkirkan. Hal
tersebut dilakukan disamping demi menjaga image perusahaan, juga agar proses go
publiknya lancar. Menyingkirkan direktur, komisaris atau personalia lainnya
tidak terlalu sulit karena dapat dilakukan dengan RUPS dan PHK. Sungguhpun
mempunyai resiko-resiko tertentu, terutama jika yang bersangkutan tidak mau
menerimanya dan memberikan reaksi. Yang paling krusial adalah jika yang akan
dikeluarkan dari perusahaan tersebut adalah salah satu atau lebih pemegang
saham.
C. Posisi Hukum dari Prospektus
Secara hukum, kedudukan prospectus sama dengan
kedudukan iklan dari suatu produk, dimana tidak saja isinya harus benar, tetapi
juga tidak boleh misleading . Sunguhpun sistem perjanjian kita kurang dapat
menerima propektus/iklan sebagai suatu “offer” dari perjanjian, paling tidak
pihak yang terkait dengan propektus telah melakukan suatu perbuatan yang pada
gilirannya bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dus, pasal “catch all”
1365 BW dapat diterapkan karena telah merupakan onrechtmatige daad. Misleading
prospectus itu dapt berupa (1) memberikan keterangan yang tidak benar,(2)
memberikan keterangan yang setengah benar, dan (3) tidak memberikan keterangan
terhadap fakta materiil.
D. Masalah Yuridis Yang Sering Terjadi Dalam
Praktek
Terkadang pihak emiten sering mengabaikan
aspek yuridis yang ada dalam perusahaan, karena sebelum go public hal yang
menjadi masalah tersebut kelihatannya wajar-wajar saja. Padahal setiap
masalahnya cukup marginal tetapi membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk
dapat mengatasinya. Beberapa masalah yuridis yang sering mengganjal dalam
praktek adalah yang berhubungan dengan (1) keabsahan pendirian perseroan dan
permodalan (2). Penguasaan Atas Asset (3) Perkara-Perkara di Pengadilan (4)
Izin-Izin dan (5) Kewajiban Lainnya.
ad 1. Keabsahan Pendirian Perusahaan Dan
Permodalan
Cukup sering terjadi ketidakberesan dari
akta-akta yang dipunyai oleh suatu PT yang akan go public, sehingga perlu
dibereskan lebih dahulu. Misalnya ada akta tentang perubahan anggaran dasar
tetapi tidak disampai dip roses k Departemen Keakiman. Menurut ketentuan,
setiap terjadi perubahan anggaran dasar yang merupakan perubahan anggaran dasar
dalam arti sebenarnya, perlu mendapat izin dari Menteri Kehakiman. Jika hal ini
terjadi, tentu izin tersebut harus terlebih dahulu diurus, dan untuk itu
memerlukan waktu. Atau pernah pula kejadian pengikatan saham terjadi beberapa
kali dalam satu PT tetapi terdapat missing link.
ad 2. Penguasaan Atas Asset
Harus pula jelas relasi yuridis antar
perusahaan dengan asset-asetnya. Misalnya jenis haknya apa, dan didukung oleh
dokumntasinya yang benar. Karena tingkatan hak itu bermacam-macam, maka tidak
semua jenis hak dapat menjadi alas hukum yang kuat terhadap asset perusahaan.
Sering pula terjadi suatu asset, misalnya tanah, dimaksudkan sebagai haknya
perusahaan, tetapi secara legal tidak demikian. Misalnya ada secara defacto
asset perusahaan tetapi di seertifikat masih merupakan hak milik para pemegang
saham atau pengurusnya. Dalam praktek fakta ini sering diabaikan.
ad 3. Perkara-Perkara di Pengadilan
Jika ada perkara di pengadilan atau Arbitrase,
harus diumumkan kepada public. Bahkan juga harus dianalisis apakah perkara
tersebut material atau tidak terhadap eksistensi perusahaan. Dari
perundang-undangan yang ada, ada kesan bahwa yang diwajibkan hanya disclosure
kepada public. Artinya, ada perkara atau tidak, material atau tidak, asal telah
dilakukan disclosure , go public tetap jalan. Terserah apakah nanti mau beli
saham atau tidak. Padahal seyogyanya, jika perusahaan mempunyai masalah yangm
material, maka tidak pantas go public sehingga izin go public mestinya tidak
boleh diberikan. Bahkan konsultan hukum mestinya jangan bersedia mendampingi
perusahaan untuk go public jika masalahnya seserius itu. Bahkan tidak hanya
perkara di pengadilan/arbitrase, masalah-masalah yang potensial untuk jadi
dispute atau dispute/perilaku yang potensial masuk pengadilan pun mestinya
harus di disclose.
ad 4. Izin-Izin Dan Kewajiban Lainya
Banyak izin atau kewajiban lain dari
perusahaan mesti dituntaskan atau setidak-tidaknya dalam proses penuntasan ketika
perusahaan tersebut dalam proses go public. Misalnya sudahkah ada kesepakatan
kerja bersama dengan pekerjanya, asuransi, izin Undang-Undang Gangguan,
Koperasi karyawan, KTP pengurus/komisaris yang masih berlaku dan bukti
kewarganegaraan, wajib daftar perusahaan, NPWP, wajib AMDAL, koperasi,
pembayaran pajak secara benar, izin lokasi, IMB, dan sebagainya. Jika diantara
kewajiban tersebut yang belum diurus pada saat go public, minimal kewajiban
tersebut sudah diproses pengurusannya secara serius. Adalah bijaksana jika
semua hal-hal yuridis yang diperkirakan mengganjal apalagi jika penanggulannya
memakan waktu lama, hendaknya dituntaskan terlebih dahulu jauh-jauh hari
sebelum perusahaan yang bersangkutan go public.
E. Penutup
Masih banyak hal-hal yang mnyangkut dengan
proses go public dari suatu perusahaan belum diatur oleh peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Ini bukan saja akan mempersulit para pelaku
yang terlibat dalam proses go public tersebut, bahkan jug adapt membwa resiko
baik terhadap para pelaku itu sendiri, terhadap perusahaan yang bersangkutan,
terhadap pemerintah, bahkan rakyat juga ikut menanggung beban. Disamping itu
praktek go public di Negara kita juga masih miskin pengalaman. Dan terutama
dari segi yuridis, terkesan melempem. Dan, yurispudensi juga tidak dapat
menolongnya berhubung sangat jarang kasus berkenaan dengan proses go public
yang sempat sampai ke pengadilan. Dalam keadaan seperti ini belajar dari Negara
lain tentu sangat dianjurkan.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Kebijakan Dan Kesiapan Indonesia Di Bidang
Hak Kekayaan Intelektual
Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin
nyata bahwa pembangunan harus bersandarkan pada industri yang menghasilkan
nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasikan gagasan
mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai
anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC), telah menunjukan keseriusan Pemerintah dalam mendukung sistem
perekonomian yang bebas/terbuka, dan secara tidak langsung memacu
perusahaanperusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saingnya.
Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang
menuntut makin tingginya kualitas produk yang dihasilkan terbuti semakin memacu
pekembangan teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal
tersebut, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam mendukung
perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari. Hal ini tercermin dari
tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta cukup banyaknya
permohonan desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah sangat menyadari bahwa implementasi
sistem hak kekayaan intelektual merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi
dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dengan konsekuensi
melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).Berdasarkan pengalaman
selama ini, peran serta berbagai instansi dan lembaga, baik dari bidang
pemerintahan maupun dari bidang swasta, serta koordinasi yang baik di antara
senua pihak merupakan hal yang mutlak diperlukan guna mencapai hasil
pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang efektif.
Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang
baik bukan saja memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan
ntelektual yang tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan
hukum serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.
B. Peraturan Perundang-undangan dan
Konvensi-konvensi International.
Pada saat ini Indonesia telah memiliki
perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang
cukup memadai dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS. Peraturan perundangundangan dimaksud
mencakup :
1. Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan Undangundang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta); dalam waktu dekat,
Undang-undang ini akan direvisi untuk mengakomodasikan perkembangan mutakhir
dibidang hak cipta;
2. Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman;
3. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang;
4. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang
Desain Industri;
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang
Paten (UU Paten); dan
7. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek;
Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah
dimulai sejak tahun 1961, sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun
1982, sedangkan sistem paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum
disempurnakan melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun
2001, beberapa waktu yang lalu (tahun 1997) terhadap ketiga peraturan
perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dan Persetujuan TRIPS. Sebagaimana dimaklumi, Persetujuan TRIPS
merupakan kesepakatan internasional yang paling comprehensif, dan merupakan
suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar GATT – General Agreement
on Tariff and Trade (khususnya tentang national treatment dan most-favoured
nation) dengan ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan
internasional bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Convention for
the protection of industrial Property dan Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works.
Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang
tersebut di atas, Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di
bidang hak kekayaan intelektual, yaitu sebagai berikut :
- Paris
Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan
Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No.
24 Tahun 1979);
- Patent
Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden
No. 16 Tahun 1997);
- Trademark
Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997);
- Berne
Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works (Keputusan
Presiden No. 18 Tahun 1997);
- WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);
C. Administrasi Hak Kekayaan Intelektual
Secara institusional, pada saat ini telah ada
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya
adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain industri,
dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
(semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada
thaun 1998. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan
perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang penelitian dan
pengembangan.
Sejauh ini pegawai di lingkungan Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang
ada di beberapa negara yang telah maju. Direktorat Jendral HaKI merupakan
institusi yang relatif masih muda/naru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi
seandainya dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala.
Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif telah ada
beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai guna mendukung
peningkatan sistem hak kekayaan intlektual sebagaimana diharapkan.
Perlu pula kiranya dikemukakan bahwa dalam
rangka lebih meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, sejak
januari 2000, pengajuan permohonan hak kekayaan intelektual dapat dilakukan di
Kantor-kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya,
Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktorat
Jenderal HaKI untuk diproses ebih lanjut. Di samping itu, pada saat ini, dengan
bantuan World Bank sedang dilaksanakan penyempurnaan sistem otomasi di
Direktorat Jenderal HaKI yang diharapkan dapat lebih menunjang proses
administrasi dimaksud.
Tidak sebagaimana bidang kekayaan intelektual
lain yang administrasinya dikelola oleh Direktorat Jenderal HaKI, bidang
varietas tanaman ditangani oleh Departemen Pertanian.
D. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Sebagaimana telah dikemukakan diatas,
keterlibatan berbagai pihak secara terkoordinasi dan intensif sangat diperlukan
untuk menjamin terlaksananya sistem hak kekayaan intelektual yang diharapkan.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah
ditugasi melakukan koordinasi dengan semua instansi Pemerintah yang berkompeten
mengenai segala kegiatan dan permasalahan di bidang hak kekayaan intelektual.
E. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Secara bertahap dan berkesinambungan telah
diupayakan sosialisasi mengenai peran hak kekayaan intelektual di berbagai
aspek dalam kehidupan sehari-hari seperti : kegiatan perindustrian dan
perdagangan, investasi, kegiatan penelitian dan pengembangan, dan sebagainya.
Berbagai lapisan masyarakat pun telah dilibatkan dalam kegiatan ini.
Tumbuhnya berbagai sentra hak kekayaan
intelektual, klinik hak kekayaan intelektual, dan pusat hak kekayaan
intelektual lain, baik yang dimotori oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Pendidikan Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Perguruan-perguruan Tinggi dan cukup banyaknya permintaan dari
masyarakat yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
menunjukan telah tumbuhnya kesadaran masyarakat di bidang hak kekayaan intelektual.
Di samping itu, apresiasi yang positif dari anggota masyarakat juga terlihat
dalam wujud pendaftran karya-karya intelektual mereka, seperti terekam dalam
jumlah pendaftaran yang sudah disinggung di atas.
F. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Melaksanakan
Beberapa Ketentuan Dalam Persetujuan TRIPS
Pada intinya semua peraturan
perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah disusun dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat dan selaras dengan ketentuan minimum
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Persetujuan TRIPS. Walaupun demikian,
berikut ini dikemukakan beberapa di antara ketentuan dalam Persetujuan TRIPS
yang kiranya memerlukan penelahaan lebih lanjut. Hal itu pada saatnya akan
disampaikan oleh pejabat yang akan kami tugasi untuk itu.
G. Perlindungan hak kekayaan intelektual di
bidang bioteknologi.
Kita maklumi bersama bahwa dalam beberapa
dasawarsa terakhir peranan bidang ilmu yang baru ini (bioteknologi) dalam
kehidupan sehari-hari sangatlah besar. Sebagai penerapan proses biologi untuk membuat
produk yang berguna bagi masyarakat (seperti : makanan dan minuman,
obat-obatanm dan komposisi/bahan kimia), pemanfaatan bioteknologi secara tepat
terbukti dapat meningkatkan : kesehatan masyarakat, mencegah penyebarluasan
penyakit dan hama, efisiensi dan kualitas produk hasil pertanian, mutu hasil
industri, dan kualitas lingkungan hidup melalui produksi gas dan limbah
industri yang diinginkan.
Walaupun demikian, tidak sedikit pula pendapat
dan hasil pengamatan yang menyangsikan atau bakan kurang mendukung upaya
pengembangan lebih lanjut dari teknologi baru tersebut yang di banyak negara
justru berkembang secara pesat. Topik Utama yang selalu dan masih terus
dipertanyakan (dipertentangkan) di antaranya adalah :
§ Jaminan keamanan produk hasil rekayasa genetik (penerapan
bioteknologi) terhadap linkungan dan terhadap mereka yang
mengkonsumsi/menggunakannya.
§ Kepatutannya terhadap moralitas agama, etika, dan
kesusilaan;dan
§ Manfaat dan risiko penggunaannya
Berbagai forum baik di tingkat nasional maupun
internasional telah menelaah mengenai hal-hal tersebut. Dalam kaitan dengan hak
kekayaan intelektual, dengan pertimbangan tidak sedikitnya invensi yang dapat
dihasilkan oleh bidang ilmu baru ini, sewajarnya bila sistem hak kekayaan
intelektual memberi perlindungan yang memadai. Article 27.3. Persetujuan TRIPS
menyatakan bahwa :
Members may also exlude from patentability :
(a) Diagnostic, therapeutic and surgical
methods for treatment of human or animal;
(b) Plants and animal other than micro
organism, and essentially biological processes for the production of plants or
animal other than non-biological and microbiological processes. However,
Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents
or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The
provisions of this paragraph shall be reviewed four years after the date of
entry into force of the WTO Agreement.
Sementara itu, UU Nomor 14 tahun 2001 tentang
Paten berbunyi :
Paten tidak diberikan untuk invensi tentang :
a. Proses atau produk yang pengumuman dan
penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan;
b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan
dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan atau hewan;
c. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan
dan matematika; atau
d. i. semua mahluk hidup, kecuali jasad renik;
ii. proses biologis yang esensial untuk
memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses
mikrobiologis
Di samping itu, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, berdasarkan UU nomor 29 Tahun 2000 Indonesia juga melindungi
invensi mengenai varietas (baru) tanaman. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas
jelaslah bahwa bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS telah tersedia di Indonesia. Walaupun
demikian, dapat dikemukakan mengenai adanya masukan dari sebagian negara
anggota WTO agar ketentuan tersebut dapat lebih disempurnakan guna mendukung
Ketentuan yang ditetapkan dalam Convention on Biological Diversity (CBD), yang
oleh Indonesia telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994
tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaregaman Hayati. Usulan yang diajukan adalah
agar mencakup juga beberapa aspek penting sehubungan dengan akses sumber daya
genetika (acces to genetic resources) dalam ketentuan pemberian paten misalnya
: dengan menyebutkan asal-usul bahan/materi yang digunakan (source of origin),
melampirkan bukti bahwa para peneliti sebelumnya telah memberitahukan secara
memadai kepada pihak/otoritas yang berkompeten di tempat yang bersangkutan
(prior informed consent), serta melengkapinya dengan kesepakatan pembagian
hasil yang sepadan (benefit sharing agreement). Pendapat lain yang juga telah
dimunculkan adalah untuk mengupayakan sistem perlindungan bagi traditional
knowledge yang lebih memadai di luar sistem Hak kekayaan intelektual yang telah
ada sekarang ini. World Intellectual Property Organization (WIPO) telah membentuk
suatu Inter Governmental Committee on Intelectual Property and Genetic
resources, Traditional Knowledge anf Folklore dengan tugas pokok berupaya untuk
memperoleh solusi yang bijaksana mengenai permasalahan tersebut. Dalam
sidangnya yang pertama pada bulan Mei 2001, Committee tersebut membahas 3 tema
pokok yaitu :
§ Access to genetic resources and benefit sharing;
§ Protection or traditional knowledge, innovation and creativity;
dan
§ Protection of expression of folklore including handicrafts.
Dalam hal ini Pemerintah berpandangan untuk
mendukung upaya yang telah dirintis oleh WIPO. Sebagai salah satu realisasi
dukunan Pemerintah dalam hal ini, perlu kiranya disampaikan bahwa pada tanggal
17-19 Oktober 2001 dengan bekerjasama dengan WIPO, Pemerintah akan
menyelenggarakan WIPO-Asia Pacific Symposium on the Protection of Intellectual
Property Rights, Traditional Kowledge and Related Issues, di Yogyakarta.
Kegiatan tersebut akan diikuti oleh wakil-wakil dari 26 negara di kawasan Asia
Pasifik dan mengikutsertakan semua pihak yang berkompeten di dalam negri.
Diharapkan dalam forum ini akan dapat disiapkan/disusun posisi negara-negara
Asia Pasifik dalam menangani permasalahan tersebut. Di samping itu mengingat
bidang ilmu (bioteknologi) yang relatif baru ini erat kaitannya dengan
kemungkinan dihasilkannya jasad renik (micro-organisme) yang baru, perlu pula
kiranya dikemukakan adanya isu yang berkembang pada akhir-akhir ini di dalam
negri yang pada intinya menolak pematenan atas segala bentuk mahluk hidup. Padahal,
sebagaimana dimaklumi, UU paten (pada pasal 7 huruf d) telah mengakomodasi
usulan tersebut kecuali untuk invensi mengenai jasad renik. Sehubungan dengan
hal ini beberapa pertimbangan yang telah dikaji dan diuraikan berikut ini dapat
ditelaah lebih lanjut.
a) Sistem paten bertujuan untuk merangsang
perkembangan teknologi dan munculnya ide dan gagasan baru, yang sudah tentu
hanya dapat terjadi karena adanya ridha dan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kurang bijaksanalah bila hal yang berguna bagi kesejahteraan manusia, justru
dihambat kemungkinan pemberian penghargaan terhadapnya.
b) Mahluk hidup, pada dasarnya memang
merupakan ciptaan-Nya. Walaupun demikian, atas kreativitas seseorang, maka
khusus bagi jasad renik yang memenuhi kriteria paton (terutama persyaratan
mengenai kebaruan, lankah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri)
selayaknya dapat diberi paten. Perlu kiranya diinformasikan bahwa ketiga
persyaratan utama tersebut tidak mudah dipenuhi, dan bahwa pemberian paten
tersebut merupakan penghargaan yang diberikan oleh negara atas kreativitas
inventor yang bersangkutan. Kreativitas tersebut tidak sekadar memilah (screen)
jasad renik tertentu dari sekumpulan jasad renik, melainkan memanipulasi dan
menintervensi karakteristik tertentu yang diperoleh melalui proses/kegiatan
pemilahan dianggap merupakan suatu discovery dan karena itu bukan merupakan
invensi yang dapat diberi paten. Beberapa manfaat yang sangat dirasakan oleh
masyarakat luas dengan pendayagunaan jasad renik atau dengan berhasil dibentuknya
jasad renik baru diantaranya adalah :
- Jasad renik yang dapat mengkonsumsi minyak,
yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah tumpahan minyak di laut;
- Jasad renik yang dapat digunakan untuk
menghasilkan
berbagai vaksin baru;
- Ragi yang digunakan untuk menghasilkan tempe
pada temperatur rendah; dan sebagainya.
Sejak diberlakukannya UU Paten lama (UU No. 6
tahun 1989 tentang Paten) pada tahun 1991, permohonan paten dari masyarakat
Indonesia mengenai jasad renik memang masih rendah. Namun, beberapa institusi
seperti Departemen Pertanian cq. Badan Litbang, Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Pertanian – Universitas Pajajaran, dan Institut Teknologi bandung
memandang tetap perlu adanya perlindungan paten bagi invensi mengenai (atau
yang berkaitan dengan) jasad renik. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi
dihasilkannya invensi mengenai (atau yang berkaitan dengan) jasad renik
mengingat bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang tersebut telah
gencar dilakukan.
c) Adanya kekhawatiran bahwa sistem paten
dapat menyebabkan harga produk menjadi mahal. Yang jelas, melalui mekanisme
pasar (termasuk kemungkinan memboikot pembeliannya, bila perlu), pengendalian
mengenai masalah ini kiranya akan dapat dilakukan dengan efektif. Di samping
itu, dalam UU Paten di samping adanya ketentuan tentang lisensi wajib, telah
pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya ketentuan entang lisensi wajib,
telah pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya pararel impor, serta
diakomodasikannya ketentuan Bolar. Melalui ketentuan-ketentuan itu,
kekhawatiran tersebut akan dapat diatasi.
d) Demikian pula, adanya kekhawatiran bahwa
sistem paten dapat menyebabkan beredarnya produk yang membahayakan ingkungan
merupakan argumentasi yang tidak benar. Tanpa adanya sistem paten pun, harus
diakui cukup banyak peredaran produk yang membahayakan lingkungan. Oleh karena
itu, menurut hormat kami, pengaturan mengenai masalah lingkungan perlu diatur
secara tersendiri. Kurang tepat jika hal ini harus dimuat sekaligus dalam
Undang-undang Paten. Disamping itu, UU Paten telah pula mengatur ketentuan yang
memungkinkan diajukannya gugatan pembatalan terhadap paten yang dipandang tidak
memenuhi persyaratan tertentu.
e) Sifat monopolistik sistem paten Sebagai
bagian dari sistem hak kekayaan intelektual, dengan paten dimungkinkan adanya
monopoli atas invensi yang merupakan miliknya. Walaupun demikian, Undang-undang
Paten telah mengatur bahwa sifat ini tidak bersifat tak terbatas. Hal ini
ercermin dengan adanya pengaturan mengenai jangka waktu perlindungan paten
(selama 20 tahun dan tidak dapat diperpajang), lisensi wajib, pelaksanaan paten
oleh Pemerintah, atau pembatalannya karena tidak dipenuhinya kewajiban
tertentu.
f) Adanya pandangan bahwa sistem paten tidak
propublik dan anti petani Melalui sistem paten, kreativitas seseorang diakui
dan dihargai, dan karena itu, sepantasnya apabila kepada inventor yang
bersangkutan diberikan imbalan (berupa royalti) yang sepadan atas segala jerih
payah, waktu, dan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menghasilkan suatu
invensi. Demikian pula, siapa pun yang akan memanfaatkan/menggunakan invensi
itu sewajarnya untuk membayar sedikit lebih mahal dibandingkan dengan produk
yang telah ada sebelumnya mengingat adanya kelebihan-kelebihan tertentu pada
invensi tersebut. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan pihak ketiga atau siapa
pun untuk menggunakan atau memanfaatkan invensi itu. Bagi pihak lain, tetap
terbuka kemungkinan untuk menggunakan produk sejenis yang telah ada (sehingga
perlu membayar lebih mahal). Justru sebaliknya, sistem paten membuka
kemungkinan bagi siapa pun untuk meningkatkan lebih lanjut invensi tersebut,
sehingga invensi yang semula perlu diproduksi dengan biaya yang cukup mahal
dapat dibuat dengan cara lain yang menekan ongkos produksinya. Lebih dari
itu,adanya kemungkinan diajukannya lisensi wajib atau pelaksanaan paten oleh
Pemerintah dalam sistem paten, menyebabkan argumentasi itu tidak tepat,
bersifat tendensius, dan menyiratkan kurang dipahaminya sistem paten secara
menyeluruh.
g) Akses terhadap sumber daya genetika dan
pembagian keuntungan yang adil. Ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya
genetika dan kemungkinan pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat yang
berlokasi di sekitar sumber itu, sebagaimana digariskan dalam CBD memang tidak
diatur dalam Undang-undang Paten. Pertimbangan utamanya adalah karena ketentuan
mengenai hal tesebut seyogyanya tidak hanya mengatur invensi terhadap sumber
daya genetika yang dipatenkan, melainkan juga mengenai akses terhadap sumber
daya genetika itu sendiri, penelitian dan pengembangan, serta eksplorasinya,
yang dapat saja tidak terkait dengan masalah paten.Pengaturan mengenai hal ini,
sapat dan perlu segera diwujudkan sebagai ketentuan lebih lanjut dari
Undang-undang No. 5 Tahun1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati
seperti telah disinggung di atas.
H. Electronic commerce
Di samping bioteknologi, bidang ilmu
pengetahuan lain yang berkembang secara pesat dalam beberapa tahun terakhir ini
adalah teknologi digital dan teknologi di bidang telekomunikasi berbasis
digital. Hal yang perlu dikaji lebih lanjut adalah sejauh mana Persetujuan
TRIPS menjamin adanya perlakuan yang seimbang/sepadan 9equal treatment) antara
aktifitas perdagangan yang menggunakan fasilitas internet bila dibandingkan
dengan dilakukan secara konvensional. Dengan ungkapan lain, apa saja yang perlu
diatur unutk menjamin bahwa electronic commerce berjalan secara wajar/baik.
I. Alih teknologi
Beberapa ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah mengakomodasikan
ketentuan yang baik secara langsung ataupun tidak langsung mensyaratkan
dilaksakanannya paten. Perlu disadari bahwa, betapapun idealnya pengaturan
mengenai alih teknologi, pada akhirnya segalanya tergantung kepada kemampuan kita
sendiri untuk menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang bersangkutan.
Oleh karena itu, peran serta berbagai instansi yang terkait untuk lebih
meningkatkan efektifitas alih teknologi perlu diintensifkan.
J. Penanggulangan terhadap pembajakan optical
disc
Tingginya tingkat pembajakan optical disc
tidak hanya mengkhawatirkan pihak pemegang hak cipta, melainkan juga
Pemerintah. Walaupun peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta yang
tersedia pada saat ini relatif sudah cukup memadai mengatur mengenai hal yang
berkaitan dengan pendayagunaan optical disc, koordinasi dengan semua pihak yang
berkompeten perlu lebih diintensifkan guna menekan tingginya produk hasil
bajakan yang pada saat ini beredar di masyarakat luas. Kegiatan sosialisasi dan
penyuluhan yang terprogram dengan baik bagi berbagai pihak masih perlu terus
ditingkatkan. Di samping itu, langkah-langkah yang bersifat lebih konkrit perlu
segera dipersiapkan dan ditindaklanjuti secara sistematis.
PERSAINGAN
DAN MONOPOLI
A. Persaingan
1. Pengertian
Persaingan atau competition oleh Webster
didifinisikan sebagai “…a struggle or contest between two more persons for the
same objects”
Dengan memperhatikan terminology tersebut
dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur
sebagai berikut :
a. ada dua pihak atau lebih yng terlibat dalam
upaya saling mengungguli.
b. Ada kehendak diantara mereka untuk mencapai
tujuan yang sama.
Anderson berpendapat bahwa persaingan di
bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama
diantara sekian banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat, atau
bahkan bangsa. Pendapat ini di dukung oleh fakta histories bahwa pada masa lalu
Negara-negara eropa bersaing secara tajam untuk mendapatkan dan menguasai
sumber daya ekonomi di wilayah asia, afrika, dan amerika selatan.
Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi
adalah persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa
didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam ‘merebut’ pembeli
dan pangsa pasar.
Menurut Khemani, persaingan ekonomi adalah “…a
situation where firms or sellers independently strive for buyer’s patronage in
order to achieve a particular business objective, for example, profits, sales
or market share… competitive rivalry may take place in terms of price,
quantity, service, or combination of these and other factors that custumers may
value,”
Dari definisi itu dikemukakan adanya dua pihak
(firms or sellers) yang bertujuan mencapai tujuan usaha tertentu seperti
keuntungan, penjualan, ataupun pangsa pasar.
Kondisi persaingan sebagai salah satu
karakteristik utama sistem ekonomi pasar cenderung lebih disukai dari pada
kondisi non persaingan. Dilihat secara objectif, kondisi persaingan memang
lebih banyak memberikan keuntungan di bandingkan kondisi non persaingan.
2. Aspek positif persaingan
Secara garis besar, persaingan bisa membawa
aspek positif apabila dilihat dari dua perspektif yaitu; ekonomi dan non
ekonomi.
a) Perspektif ekonomi
Argumentasi sentral untuk mendukung persaingan
berkisar di seputar masalah efisiensi. Mengikuti argumentasi ini, sumber daya
ekonomi akan bisa di alokasikan dan didistribusikan secara paling baik, apabila
para pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi
bersaing dan bebas menentukan pilihan-pilihan mereka sendiri.
Sementara itu, dalam konteks pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan, persaingan juga membawa implikasi positif berikut:
1. persaingan merupakan sarana untuk
melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi
persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu.
Dalam kondisi tanpa persaingan, kekuatan ekonomi akan tersentralisasi pada
beberapa pihak saja. Kekuatan in pada tahap selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan
besar dalam posisi tawar-menawar (bargaining position), serta pada akhirnya
membuka peluang bagi penyalahgunaan dan eksploitasi kelompok ekonomi tertentu.
Sebagai contoh sederhana, persaingan antar penjual dalam industri tertentu akan
membawa dampak positif terhadap komsumen/pembeli, karena mereka diperebutkan
oleh para penjual serta dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
2. Persaingan mendorong alokasi dan relokasi
sember-sumber daya ekonomi sesuai dengan keiginan konsumen,. Karena ditentukan
oleh permintaan (demand), perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan
cenderung mengikuti pergerakkan permintaan para pembeli. Dengan demikian, suatu
perusahaan akan meninggalkan usaha yang tidak memiliki tingkat permintaan yang
tinggi. Singkatnya, pembeli akan menentukan produk apa dan produk yang
bagaimana yang mereka sukai dan penjual akan bisa mengfisienkan alokasi sumber
daya dan proses produksi seraya beraharap bahwa produk mereka akan mudah
terserap oleh permintaan pembeli.
3. persaingan bisa menjadi kekuatan untuk
mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemafaatannya secara
efisien. Dalam hal perusahaan bersaing secara bebas, maka mereka akan cenderung
menggunakan sumber daya yang ada secara efisien. Jika tidak, resiko yang akan di
hadapi oleh perusahaan adalah muncul nya biaya berlebihan (excessive cost) yang
pada gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
4. persaingan bisa merangsang peningkatan mutu
produk, pelayanan, proses produksi, dan teknologi. Dalam kondisi persaingan, setiap
pesaing akan berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar
(market share). Metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu diantaranya
adalah dengan meningkatkan mutu produk, pelayanan, proses produksi, serta
inovasi teknologi.
b) perspektif non-ekonomi
dari sisi politik, scherer mencatat bahwa
setidaknya ada tiga argumen untuk mendukung persaingan dalam bidang usaha,
yaitu:
1. dalam kondisi penjual maupun pembeli
terstruktur secara atomistic (masing-masing sebagai unit-unit terkecil dan
independen) yang ada dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung
factor ekonomi (economic or economic supported power) menjadi terbesar dan
terdesentralisasi. Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan pemerataan
pendapatan akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan
kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang memegang kekuasaan. Gagasan
melepaskan aktivitas sipil (termasuk aktivitas ekonomi) dari campur tangan
penguas (khusus nya pemerintah) ini sejalandengan ideology liberal yang
mewarnai sistem pemerintahan Negara-negara barat.
2. sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan
bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan
melalaui personal pengusaha maupun birokrat. Dalam keadaan seperti ini,
kekecewaan politis masyarakat yang usaha nya terganjal keputusan pengusaha
maupun penguasa tidak akan terjadi. Dengan kalimat yang lebih sederhana, dalam
kondisi persaingan, jika seseorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang
usahanya, ia tidak akan terlalu merasa sakit karena ia jatuh bukan karena
kekuasaan orang tertentu, melainkan suatu proses yang mekanistik
(permintaan-penawaran). Hal seperti itu bisa dipastikan tidak akan terjadi
dalam hal seseorang ‘jatuh’ akibat keputusan penguasa atau pengusaha yang
memegang dominasi ekonomi. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, proses
impersonal dan mekanistis dari persaingan ini bisa saja menentukan stabilitas
politik suatu komunitas.
3. kondisi persaingan juga berkaitan erat
dengan kebebasan manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam
berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada dasarnya setiap orang akan punya
kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan demikian hak setiap manusia
untuk mengembangkan diri (the right to self-development) menjadi terjamin.
3. Aspek Negatif Persaingan
meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa
aspek positifnya lebih menonjol, kondisi persaingan dalam beberapa hal juga
memiliki aspek-aspek negatif. Beberapa aspek negatif yang dikemukakan oleh
Anderson adalah sebagai berikut:
1. sistem persaingan memerlukan biaya dan
kesulitan-kesulitan tertentu yang tidak didapati dalam sistem monopoli. Dalam
keadaan persaingan, pihak penjual dan pembeli secara relatif akan memiliki
kebebasan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Mereka masing-masing akan
memiliki posisi tawar menawar yang tidak terlalu jauh beda, sehingga
konsekuensi logis nya adalah bahwa akan ada waktu yang lebih lama dan upaya
yang lebih keras dari masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan. Biaya
yang harus dibayar untuk hal ini adalah biaya kontraktual (contractual cost)
yang tidak perlu ada seandainya para pihak tidak bebas bernegosiasi.
2. persaingan bisa mencegah koordinasi yang
diperlukan dalam industri tertentu. Salah satu sisi negatif dari persaingan
adalah bahwa persaingan bisa mencegah koordinasi fasilitas teknis dalam bidang
usaha tertentu yang dalam lingkup luas sebenarnya diperlukan demi efisiensi.
Misalnya, pengguna telepon produk suatu perusahaan tertentu menjadi kesulitan
menggunakan pengguna telepon produk perusahaan lain, apabila kedua perusahaan
itu merupakan pesaing independent yang tidak mengkoordinasikan fasilitas teknis
mereka.
3. persaingan apabila dilakukan oleh pelaku
ekonomi yang tidak jujur, bisa bertentangan dengan kepentingan publik. Resiko
ekstrim dari pesaing yang sangat relevan tentunya adalah kemungkinanditempuhnya
praktek-praktek curang (unfair competition)karena persaingan dianggap sebagai
kesempatan untuk dapat menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.
B. Monopoli
1. Pengertian
Hukum mengartikan monopoli sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan atas
jasa tertentu oleh 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok usaha tertentu.
Secara etimologi, kata monopoli berasal dari kata yunani ”monos” yang berarti
sendiri dan ”polein” yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut, secara
sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana
hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
Dalam perkembangannya, meskipun dimaksudkan
untuk menggambarkan fakta yang kurang lebih sama, istilah monopoli sering
dipakai orang untuk menunjuk tiga titik berat yang berbeda.
• Istilah monopoli dipakai untuk menggambarkan
suatu struktur pasar (keadaan korelatif permintaan dan penawaran). Meiners
misalnya memberikan definisi “a market structure in which the output of an
industry is controlled by a single seller or a group of sellers making joint
decisions regarding production and price”. Dari pendapat itu dapat dilihat
bahwa Meiners sedikit ‘keluar’ dari definisi etimologis. Menurutnya, monopoli
itu bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual yang membuat keputusan bersama
tentang produk atau harga.
• Istilah monopoli juga sering di gunakan
untuk menggambarkan suatu posisi. Maksudnya adalah posisi penjual yang memiliki
pengasaan dan kontrol eksklusif atas barang atau jasa tertentu.
• Istilah monopoli juga dipergunakan untuk
menggembarkan kekuatan yang dipegang oleh penjual untuk menguasai penawaran,
menentukan harga, serta memanipulasi harga.
Meskipun ada titik berat yang berbeda-beda
dalam penggunaan istilah, monopoli secara umum menggambarkan fakta yang sama,
yakni pemusatan kekuatan penawaran eksklusif pada pihak penjual dalam suatu
pasar.
Berbeda dengan persaingan yang bersifat
mendesentralisasikan kekuatan ekonomi, didalam ekonomi justru terkandung
pengertian adanya pemusatan kekuatan.
Karena keadaan yang tidak seimbang antara
penjual dan pembeli, umumnya monopoli dianggap sebagai kondisi yang negatif.
Hal ini cukup logis, karena dalam kondisi monopoli terbuka kemungkinan cukup
besar bagi penyalahgunaan oleh pemegang kekuasaan monopoli. Meskipun demikian
ada aspek positif yang dapat diambil dari monopoli disamping aspek negatif yang
lebih sering di kemukakan.
2. Aspek Positif Monopoli
1. monopoli bisa memaksimalkan efisiensi
pengelolaan sumber daya ekonomi tertentu. Apabila sumber daya alam minyak bumi
dikelola oleh satu unit usaha tunggal yang besar, maka ada kemungkinan bahwa
biaya-biaya tertentu bisa dihindari.
2. monopoli juga bisa menjadi sarana untuk
meningkatkan pelayanan terhadap konsumen dalam industri tertentu. Dalam usaha
pelayanan telekomunikasi misalnya, para pengguna asa akan bisa saling
berhubungan tanpa kesulitan karena hubungan itu di fasilitasi oleh satu
perusahaan yang memiliki basis teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh semua
konsumen.
3. monopoli bisa menghindarkan duplikasi
fasilitas umum. Ada kalanya bidang usaha tertentu akan lebih efisien bagi
public apabila dikelola oleh satu perusahaan. jika distribusi air minum
diberikan pada lebih dari satu perusahaan yang saling bersaing, yang mungkin
terjadi adalah bahwa mereka akan membangun instalasi sendiri (penampungan,
pipa-pipa) air minum mereka. Dari segi kepentingan publik, duplikasi fasilitas
air minuum itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang efisien.
4. dari sisi produsen, monopoli bisa
menghindarkan biaya pariwar/iklan serta biaya diferensiasi. Jika terjadi
persaingan, setiap perusahaan yang bersaing akan saling mencoba merebut
konsumen dengan banyak cara. Pariwara tampaknya menjadi cara yang cukup penting
untuk menjangkau konsumen. Dalam hal terjadi monopoli, kedua biaya itu tidak
relevan. Karena perusahaan akan selalu berada pada pihak yang lebih dibutuhkan
oleh konsumen, ia tidak perlu bersusah-susah mendapatkan konsumen melalui
pariwara atau difernsiasi produk.
5. dalam monopoli biaya kontraktual bisa
dihindarkan. Persaingan membuat kekuatan ekonomi tersebar(dispersed). Maka,
para pelaku ekonomi akan memiliki kekuatan yang relitaf tidak jauh berbeda.
Konsekuensinya, jika mereka akan saling bertransaksi, waktu, biaya, dan tenaga
yang diperlukan menjadi lebih besar. Kondisi ini tidak dijumpai dalam kondisi
monopoli dimana peluang untuk bernegosiasi tidak terlampau besar.
6. monopoli bisa digunakan sebagai sarana
untuk melindungi sumber daya tertentu yang penting bagi masyarakat luas dari
eksploitasi yang semata-mata bersifat ‘profit-motive’.
3. Aspek Negatif Monopoli
1. monopoli membuat konsumen tidak mempunyai
kebebasan memilih produk sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Jika
penawaran sepenuhnya dikuasai oleh seorang produsen, secara praktis para
konsumen tidak punya pilihan. Dengan kata lain, mau tidak mau ia harus
menggunakan produk satu-satunya itu.
2. monopoli membuat posisi konsumen menjadi
rentan di hadapan produsen. Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang
lebih dibutuhkan dari pada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen untuk
merugikan konsumen melalui penyalahgunaan posisi monopolistiknya. Antara lain
bisa menentukan harga secara sepihak secara menyimpang dari biaya produksi
riil.
3. monopoli juga berpotensi menghambat inovasi
teknologi dan proses produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen lantas
tidak memiliki motivasi yang cukup besar untuk mencari dan mengembangkan
teknologi dan proses produksi yang baru. Akibatnya, inovasi teknologi dan
proses produksi akan mengalami stagnasi.
4. terjadi peningkatan harga suatu produk
sebagai akibat tidak ada kompetisi dan persaingan bebas. Harga yang tinggi ini
pada gilirannya akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyrakat luas.
5. pelaku usaha mendapat keuntungan (profit)
di ats kewajaran yang normal. Ia akan seenak nya menetapkan harga untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besar nya karena konsumen tidak ada pilihan
lain dan terpaksa membeli suatu produk tersebut.
6. terjadi ketidak ekonomisan dan ketidak
efisienan yang akan di bebankan kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu
produk, karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost
yang minimum.
7. ada entry barrier dimana perusahaan lain
tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, karena
penguasaan pangsa pasar yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi
kesempatan untuk tumbuh berkembang dan akan jatuh satu persatu.
8. pendapatan jadi tidak merata, karena sumber
dana dan modal akan tersedot kedalam perusahaan monopoli. Masyarakat banyak
harus berbagi dengan banyak orang dalam bagian yang sangat kecil, sementara
perusahaan monopoli dengan sedikit orang akan menikmati bagian yang lebih
besar.
4. Jenis-Jenis Monopoli
a) berdasarkan siapa yang memegang atau
memiliki kekuasaan monopoli:
• Monopoli Swasta (Private Monopoly)
yaitu monopoli yang dipegang oleh pihak non
public, seperti perusahaan swasta, koperasi, dan perseorangan.
• Monopoli Public (Public Monopoly)
Yaitu monopoli yang dipunyai oleh badan publik
(public body), seperti Negara, Negara bagian, dan pemerintah daerah.
b) berdasarkan sisi keadaan yang
menyebabkannya:
• Natural Monopoli
yaitu monopoli yang disebabkan oleh
factor-faktor alami yang eksklusif. Jika suatu daerah terdapat bahan tambang
langka yang tidak dijumpai didaerah lain, pengelolaan sumber daya itu akan
memiliki natural monopoli.
• Sosial Monopoli
Yaitu monopoli yang tercipta dari tindakan
manusia atau kelompok social. Monopoli terhadap hak cipta yang diberikanoleh
Negara kepada seorang pencipta misalnya, merupakan contoh dari monopoli social.
c) berdasarkan legal atau tidaknya:
• Monopoli Legal
yaitu monopoli yang tidak dilarang oleh hukum
di suatu Negara.
• Monopoli Illegal
Yaitu monopoli yang dilarang oleh hukum di
suatu Negara.
Mengingat banyak nya sistem hukum yang
memiliki pengaturan berbeda-beda, tentu saja kriteria legal dan illegal antara
Negara yang satu dengan Negara yang lain juga berbeda. Apa yang dikatakan
sebagai monopoli legal di suatu Negara belum tentu merupakan monopoli legal
pula di Negara yang lain.
C. Persaingan, Monopoli Dan Hukum
Dengan memandang persaingan dan monopoli
sekedar sebagai suatu instrument, satu hal yang relevan bagi suatu ekonomi
adalah mengatur bagaimana instrument itu digunakan. Atau dengan kata lain,
bagaimana persaingan dan monopoli diatur sehingga menonjolkan aspek-aspek
positifnya.
Biarpun hukum bukan merupakan satu-satunya
instrument yang memiliki kekuatan mengatur, secara luas dipahami bahwa hukum
adalah sarana pengatur yang memiliki kekuatan memaksa yang memadai. Dalam dunia
usaha memang dikenal ada etika usaha (business ethic) yang menjadi code of
conduct. Meskipun demikian kekuatan yang mendorong ditaatinya etika semacam itu
lebih terletak pada moralitas yang sering terkalah kan oleh
kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih signifikan. Berbeda dari etika yang
lebih banyak dimotori oleh moralitas, hukum di dorong oleh daya paksa yang
lebih konkret berupa sanksi.
RELEVANSI
HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Pengertian dan Istilah
Berbagai istilah yang dikenal dan sering
digunakan untuk menunjuk instrumen hukum yang mengatur persaingan dan monopoli.
1. Hukum anti monopoli atau undang-undang
antimonopoly (antimonopoly law).
hukum ini berisi ketentuan-ketentuan untuk
menentukan atau meniadakan monopoli.
2. Hukum antitrust atau undang-undang
antitrust (antitrust law).
Istilah ‘trust’ digunakan untuk menunjukkan
perusahaan besar yang terbentuk dan mempunyai kekuatan monopolistiik. Secara
hakiki istilah ‘hukum antitrust’ memiliki pengertian yang sama dengan istilah
‘hukum monopoly’. Kedua nya dipakai untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum
yang ditunjukkan untuk meniadakan monopoli.
3. Hukum persaingan (competition law).
Hukum persaingan merupakan instrument hukum
yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun
secara khusus menekankan pada aspek ‘persaingan’, hukum persaingan usaha juga
berkaitan erat dengan pemberantasan monopoli, karena yang juga menjadi
perhatian dari hukum persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian rupa
sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan
monopoli.
4. Hukum praktek-praktek perdagangan curang
(unfair trade practices law).
Istilah ini secara khusus memberi penekanan
pada persaingan di bidang perdagangan.
5. Hukum persaingan ‘sehat’ (fair competition
law).
Istilah ini memiliki pengertian yang sama
persis dengan competition law. Bedanya, istilah ini menegaskan bahwa yang ingin
dijamin adalah terciptanya persaingan yang sehat.
B. Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Khemani mencatat bahwa tujuan hukum persaingan
usaha bisa dibedakan menjadi dua yaitu (1) tujuan yang semata-mata dilandasi
oleh pertimbangan ekonomis, (2) tujuan yang dilandasi oleh pertimbangan
nonekonomis.
Ketika hukum persaingan usaha dilandasi oleh
pertimbangan ekonomi (economic considerations), yang diharapkan bisa dicapai
oleh hukum persaingan usaha adalah terciptanya efisiensi ekonomi.
Khemani mengemukakan bahwa tujuan-tujuan hukum
persaingan usaha setiap Negara berada pada satu titik tertentu diantara kedua
kutub ekstrim pertimbangan ekonomi dan nonekonomi.
Tujuan-tujuan utama hukum persaingan usaha:
1) Memelihara kondisi kompetisi yang bebas (maintenance
of free competition).
Bank dunia menegaskan bahwa perlindungan
terhadap persaingan tidaklah identik dengan perlindungan terhadap pesaing
(competitors). Hukum persaingan usaha ditujukan untuk melindungi persaingan,
bukannya untuk melindungi pesaing. Tujuan ini dilandasi baik oleh alasan
ekonomi (efisiensi dalam persaingan) maupun ideoligi (kebebasan yang sama untuk
berusaha dan bersaing). Tujuan pemeliharaan kondisi kompetisi yang bebas ini
sesungguhnya merupakan upaya untuk memaksimalkan aspek-aspek positif yang ada
pada persaingan. Persaingan yang sehat akan membawa dampak terhadap alokasi dan
relokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Disamping itu, persaingan yang
bebas akan memacu inovasi dalam teknologi maupun proses produksi. Prancis menekankan
bahwa tujuan kebijakan persaingan Negara itu adalah menjamin kebebasan ekonomi
(securing economic freedom), khususnya kebebasan untuk bersaing (freedom of
competition). Jerman menganggap bahwa kebebasan ekonomi individual setara
dengan kebebasan lain dalam sistem demokratik konstitusional.
2) Mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi
(prevention of abuse of economic power)
Tujuan ini lebih mementingkan pelarangan
tindakan tertentu (penyalahgunaan kekuatan ekonomi) dan lebih dimaksudkan untuk
menjamin supaya persaingan terjadi secara proporsional, dalam arti pihak yang
kuat secara ekonomi tidak merugikan pelaku usaha yang lain dalam persaingan.
Tujuan penyalahgunaan kekuatan ekonomi ini
sebenarnya erat sekali dengan adagium “power tends to corrupt and absolute
power corrupts absolutely” dari Lord Acton. Tujuan ini dilandasi oleh pemikiran
pembentukan kekuatan ekonomi yang rentan terhadap penyalahgunaan yang merugikan
pelaku ekonomi lain yang lebih lemah.
3) Melindungi Konsumen (Protection Of
Consumer).
Di amerika serikat, persoalan perlindungan
konsumen merupakan isu yang cukup menonjol dalam hukum persaingan usaha. The
federal trade competition (FTC), sebagai salah satu pilar penegak hukum
antitrust AS disamping Department Of Justice (DOJ), bahkan secara tegas
menyatakan bahwa:
“consumer choice is a powerful incentive for
the sellers of any products to keep their prices low and their quality high…
To ensure costumer choice, the antitrust law
set two basic requirements: companies cannot agree to limit competition in ways
that hurt consumers; and a single company cannot monopolize an industry through
unfair practices.”
Satu persoalan konkret yang muncul sehubung
dengan tujuan maksimalisasi kesejahteraan konsumen ini adalah apakah ketentuan
persaingan usaha semata-mata ditujukan kepada perlindungan konsumen ataukah
juga harus memperhatikan kepentingan produsen. Beberapa Negara, khususnya
Negara yang sedang berkembang yang mementingkan pertumbuhan ekonomi, menganggap
bahwa tekanan persaingan global menuntut supaya mereka melindungi produsen
dalam industri tertentu, setidaknya dalam jangka pendek. Perlakuan khusus
terhadap industri tertentu ini sering kali mengabaikan kepentingan konsumen.
Dengan melihat beberapa tujuan utama yang
ingin dicapai oleh hukum persaingan usaha, pada hakikatnya hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan-tujuan yang
menguntungkan.
Apabila hukum persaingan usaha diberi arti
yang lebih luas, bukan hanya meliputi pengaturan persaingan, melainkan juga
soal boleh tidaknya monopoli untuk mengatur sumber daya mana yang harus
dikuasai Negara dan mana yang boleh dikelola oleh swasta.
Untuk Negara-negara yang bercirikan Negara
kesejahtaraan (walfare state), soal alokasi sumber daya dianatar sector public
dan swasta menjadi cukup penting, mengingat bahwa Negara kesejahteraan juga
berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan umum warganya dengan sumber daya
yang terbatas, bukan sekedar menjamin keamanan swasta untuk mengejar
kesejahteraan mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, kehadiran ketentuan
secara tegas memisahkan sumber daya public dan sumber daya privat menjadi tidak
terhindarkan untuk meniadakan tumpang tindih alokasi public privat yang pasti
terjadi bila tidak ada peraturan tegas tentnag itu.
Ketika suatu Negara memiliki sumber daya,
katakanlah minyak bumi, dalam jumlah besar, Negara itu akan memiliki dua
pilihan. Ia bisa saja membebaskan komoditi itu bagi persaingan yang melibatkan
perusahaan-perusahaan swasta. Jika pilihan itu yang diambil, konsekuensi yang
harus dihadapi adalah bahwa eksploitasi akan dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan itu atas nama keuntungan pribadi mereka. Pilihan lain
adalah menerapkan monopoli public terhadap komoditi vital tersebut. Apabila ini
yang dipilih, konsekuensinya adalah bahwa untuk industri ini tidak ada
persaingan, karena hanya ada satu pihak yang berwenang menguasai minyak bumi.
Monopoli ini akan menjadi lebih baik kalau ditujukan pada tercapainya
kesejahteraan umum. Persoalannya mungkin akan berbeda kalau monopoli dipegang
oleh swasta. Khusus untuk hal ini, suatu instrument hukum akan diperlukan untuk
memberikan kejelasan mengenai apa yang boleh dimonopoli oleh Negara.
SUBSTANSI
HUKUM PERSAINGAN USAHA
tiap Negara memiliki kewenangan eksklusif
untuk menyusun legislasi mereka masing-masing. Atas dasar ini dapat dipahami
bila ditemukan ketentuan persaingan usaha yang berbeda antara satu Negara
dengan yang lain. Meskipun demikian, persamaan-persamaan dasar ini wajar ada
karena setiap ketentuan persaingan usaha dimaksudkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbada. Persamaan-persamaan
ini terefleksikan oleh Khemani yang berpendapat bahwa “competition laws
generally consist of substantive conduct and structural provisions relating to
business activity, together with additional procedural provisions on
administration and enforcement”.
Dari pendapat itu dikatakan bahwa pada umumnya
hukum persaingan usaha berisi hal-hal berikut:
1. ketentuan-ketentuan tentang perilaku yang
berkaitan dengan aktivitas-aktivitas usaha.
2. ketentuan-ketentuan struktural yang
berkaitan dengan aktivitas usaha.
3. ketentuan-ketentuan prosedural tentang
pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha.
Hukum persaingan usaha berisi
ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang
(beserta konsekuensi hukum yang bisa timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural
mengenai penegakan hukum persaingan.
Tidakan-tindakan yang dilarang oleh hukum
persaingan usaha sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tindakan
anti persaingan (anticompetition) dan tindakan persaingan curang (unfair
competition practice, unfair methods of competition). Memang tidak semua Negara
membuat pembedaan yang tajam mengenai dua kategori ini, lagipula perbatasan
antara keduanya terkadang tidak tampak jelas. Namun, agar tidak sistematik,
pembahasan tentang ketentuan-ketentuan substansial hukum persaingan akan
dilakukan dengan berpijak pada dua kategori tindakan tersebut.
A. Tindakan Antipersaingan
Tindakan antipersaingan merupakan satu
kategori untuk menunjuk jenis-jenis tindakan yang bersifat menghalangi atau
mencegah persaingan atau tindakan untuk menghindari persaingan. Memang secara
ideal persaingan memiliki banyak aspek positif, tetapi bagi pelaku usaha,
persaingan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang kurang menguntungkan.
Persaingan adalah proses perebutan pangsa pasar, konsumen, dan keuntungan.
Untuk bisa menang dalam persaingan, sering kali para pelaku usaha harus menekan
harga untuk merebut konsumen. Penekanan harga ini tentunya akan berakibat pada
berkurangnya keuntungan yang mereka peroleh. Disamping harga, yang mereka
sering pakai sebagai “senjata” dalam persaingan usaha adalah peningkatan mutu
produk dan pelayanan terhadap konsumen. Sama halnya dengan persaingan harga
(price competition), persaingan dalam peningkatan mutu produk dan pelayanan ini
juga akan bermuara pada berkurangnya keuntungan. Bagi pelaku usaha yang
bersifat profit motif, konsekuensi ini cenderung dipandang negatif. Dengan
demikian adalah suatu yang logis apabila para pelaku usaha memilih untuk tidak
bersaing. Kecenderungan seperti ini bahkan telah ditemukan oleh Adam Smith
dalam masterpiece-nya, the wealth of nations(1776). Dia mengatakan:
“people of the same trade seldom meet
together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a
conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices”.
Tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori
tindakan antipersaingan, yaitu:
1. Merger
Merger berasal dari akar kata kerja ‘to
merge’, secara luas dipahami sebagai proses penggabungan dua perusahaan atau
lebih menjadi satu perusahaan. Dengan ilustrasi sederhana dapat digambarkan
bahwa merger terjadi apabila dua perusahaan bergabung dan salah satunya masih
mempertahankan identitasnya (perusahaan A + perusahaan B = perusahaan A atau
perusahaan B). Merger sesungguhnya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk
integrasi usaha yang sering dilakukan untuk mencapai proses produksi yang lebih
efisien. Meiners mengatakan bahwa suatu usaha dikatakan terintegrasi apabila
tahap-tahap dalam proses produksi atau distribusinya dilakukan di dalam satu
perusahaan (in-house) atau jika tidak diikat oleh kontrak. Contohnya perusahaan
general motors yang memproduksi auto mobil. Operasi general motors merupakan
operasi yang bersifat terintegrasi, karena proses produksinya terikat dalam
satu koordinasi usaha. Sebenarnya setiap komponen otomotif (mesin, kerangka,
aksesoris) bisa saja diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang mandiri.
Perusahaan-perusahaan independent itu bisa saja menjual produknya kepada satu
perusahaan yang merakit komponen-komponen itu menjadi produk akhir otomotif.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa proses produksi yang terintegrasi semacam
itu lebih memakan biaya. Biaya produksi bisa ditekan dengan integrasi usaha
yang salah satunya berbentuk merger. Merger memang bisa membawa keuntungan
nyata bagi persaingan dan bagi konsumen. Meskipun demikian, jika merger
bermuara pada berkurangnya jumlah perusahaan dalam satu industri, yang dikhawatirkan
adalah berkurangnya kompetisi. Pada umumnya merger dikatakan memiliki efek
antipersaingan apabila dua kondisi berikut terpenuhi:
a. pasar terkonsentrasi secara substansial
setelah terjadi merger.
b. Perusahaan lain menjadi kesulitan untuk
memasuki pasar dan menjadi pesaing.
Bank dunia juga mencatat bahwa merger pada
dasarnya merupakan aktivitas yang biasa diambil oleh para pelaku usaha demi
tercapainya efisiensi dalam industri tertentu. Semua Negara yang telah memiliki
hukum persaingan usaha mereka cenderung untuk mengatur merger yang membawa
dampak negatif terhadap persaingan. Ketika suatu perusahaan yang bergerak di
bidang penerbitan melakukan merger dengan perusahaan di bidang minuman ringan
(beverages), damapak negatif terhadap persaingan dalam industri penerbitan
ataupun minuman ringan, kecil untuk terjadi. Namun, apabila merger dilakukan
antara perusahaan penerbitan dengan perusahaan serupa yang menjadi pesaing
utamanya, damapk negatif terhadap persaingan lebih mungkin untuk terjadi.
Dilihat dari pihak-pihak yang bergabung,
merger bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Merger horizontal (horizontal merger)
suatu merger dikatakan merger horizontal
apabila dilakukan antara perusahaan-perusahaan yang sebelumnya merupakan
pesaing dalam suatu usaha.
Di amerika serikat, merger horizontal bisa
dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Sherman Act 1890.
section 1 dan 2 dari ketentuan tersebut ialah sbb:
Section 1 : every contract, combination in the
from of trust or otherwise or conspiracy, in restraint of trade or commerce
among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be
illegal.
Section 2 : every person who shall monopolize,
or attempt to monopolize or combine or conspire with any other person or
persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several
states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony. Dalam
section 1 dan 2 tersebut memang tidak secara tegas disebut-sebut tentang merger
horizontal. Intinya, ketentuan-ketentuan tersebut berisi pelarangan terhadap
perjanjian, penggabungan, persekongkolan, dan monopolisasi. Dengan begitu,
penggabungan maupun merger tidak akan dilarang apabila tidak mengarah pada
monopoli.
Akibat monopolistik dari merger yang
diisyaratkan oleh Sherman Act ini ternyata cukup menyulitkan dalam praktek.
Sering kali sulit dibuktikan secara cukup meyakinkan bahwa suatu merger akan
menciptakan monopoli. Kesulitan ini agak teratasi saat kongres Amerika tahun
1955 melakukan amandemen terhadap section 7 instrumen antitrust lain, Clayton
Act. Meskipun demikian, tetap tidak ada petunjuk yang jelas mengenai tindakan
yang mengarah pada monopoli (monopolistic behavior). Dengan demikian, merger
horizontal akan diperlakukan secara case by case oleh pengadilan untuk menentukan
ada tidak nya monopoli yang terbentuk dengan memanfaatkan konsep-konsep
ekonomi, seperti harga produk, output, keuntungan, serta concentration ratio.
Berikut ini beberapa konsep ekonomi yang sering digunakan oleh pengadilan untuk
menilai apakah suatu merger melanggar ketentuan antimonopoly atau
tidak.Salah satu konsep terpenting untuk menilai legalitas merger di banyak
Negara adalah kekuatan pasar (market power). Sebagai ukuran umum, merger akan
dianggap legal apabila hasil dari proses itu tidak mengarah pada monopoli.
Sebaliknya, merger akan dianggap ilegal apabila hasilnya cenderung mengarah
pada monopoli (menghasilkan kekuatan pasar yang dominan). Dengan demikian yang
harus dicermati oleh otoritas ketentuan antimonopoli adalah seberapa besar kekuatan
pasar dari perusahaan yang terbentuk karena merger. Sebagai contaoh, perusahaan
A adalah perusahaan B yang dinegara itu memiliki pangsa pasar sebesar 40% untuk
kertas Koran.jika mereka memutuskan untuk melakukan merger, pangsa pasar
perusahaan hasil merger akan mencapai 85%. Meskipun ada standar yang tidak sama
antara Negara yang satu dengan yang lain, pangsa pasar yang sebesar itu bisa
menjadi alasan kuat bagi otoritas persaingan untuk mencegah merger tersebut
dengan alasan cenderung mengarah pada monopoli melalui perluasan pangsa pasar.
Sebaliknya, jika mereka masing-masing hanya memiliki 5% pangsa pasar, bisa
diasumsikan bahwa merger mereka tidak menghasilkan penguasaan pangsa pasar yang
besar. Dari ilustrasi diatas, dapat dikatakan bahwa untuk melihat kekuatan
pasar dari suatu perusahaan hasil merger perlu terlebih dahulu ditentukan pasar
yang relevan (the relevant market). Untuk melihat pasar relevan umumnya yang
akan diperhatikan adalah pasar produk (product market) dan pasar geografik
(geographic market).
1) Pasar produk (Product market)
Pasar produk adalah lembaga dimana penjual dan
pembeli melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi produk tertentu. Clayton
Act menggunakan istilah “in any line of commerce” untuk menunjk pada pasar
produk ini. Dalam analisis antimonopoly, penentuan pasar produk yang spesifik
ini sangat perlu karena ia menjadi dasar untuk menentukan kekuatan pasar. Suatu
merger akan lebih menjadi perhatian otoritas hukum persaingan apabola dilakukan
antara dua perusahaan yang berada dalam pasar produk yang sama, karena merger
yang demikian akan mempengaruhi pasar produk tersebut. Sebaliknya, merger yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak berada pada “line commerce”
yang sama tidak akan banyak mempengaruhi pasar produk tertentu.
Contoh sederhana, perusahaan A dan perusahaan
B dikatakan berada pada pasar produk yang sama apabila mereka menjual produk
yang sama. Jika perusahaan A menjual minyak pelumas motor dan perusahaan B juga
menjual minyak pelumas motor, mereka berada pada pasar produk yang sam yakni
pasar produk pelumas motor. Jika perusahaan A dan B melakukan merger, maka
hasilnya akan mempengaruhi pasar produk minyak pelumas.
Dalam praktek tidaklah terlalu mudah
menentukan pasar produk tertentu, karena produk yang satu bisa saja
‘berdekatan’ dengan produk yang lain sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
kedua nya berada dalam pasar produk yang sama atau tidak. Salah satu contoh
yaitu hal yang terjadi di Amerika serikat dalam kasus U.S. v. E.I. du pont de
Nemours & Company (1958). Dalam kasus tersebut, mahkamah agung Amerika
Serikat dihadapkan pada persoalan tentang apakah du pont monopoli pasar produk
cellophane (sejenis perekat dari bahan plastik). Jika pasar produk dalam kasus
itu secara konkret diartikan sebagai ‘pasar produk cellophane’, du pont
memiliki pangsa pasar sebesar 75%, suatu persentase yang cukup untuk mengatakan
bahwa du pont memonopoli pasar. Namun, persoalannya pasar produk bisa sedikit
diperluas bukan hanya terbatas pada produk cellophane, melainkan juga meliputi
produk-produk yang berdekatan yang bersam-sama dengan cellophane bisa
digolongkan sebagai produk “alat untuk mengemas paket” (packaging materials),
seperti aluminium foil, glassine, dan polyethylene. Jika pasar produk dalam
kasus ini diartikan sebagai pasar produk ‘packaging materials’, du pont dengan
cellophane nya hanya menguasai 20% pangsa pasar, angka persentase yang tidak
cukup untuk mengatakan bahwa perusahaan itu melakukan monopoli.
Untuk membantu menentukan pasar produk
tertentu yang tidak selalu mudah, konsep yang bisa digunakan adalah “cross
elasticity demand” atau dapat tidaknya produk yang satu digantikan oleh produk
yang lain. Jika dua produk bisa saling menggantikan meskipun secara spesifik
mereka berdua berbeda, bisa saja ditetapkan bahwa mereka berada dalam pasar
produk yang sama.
2) Pasar Geografik (Geographic market)
Sama dengan pasar produk, penentuan luas pasar
secara geografik (local, regional, nasional, atau internasional) juga bisa
bermuara pada kesimpulan yang berbeda tentang apakah suatu perusahaan memegang
posisi monopoli atau tidak.
Luas sempitnya pasar produk secara geografik
sebenarnya bisa dipengaruhi oleh beberapa factor. Dari sisi penjual misalnya,
luas tidaknya jangkauan penjualan produknya akan ditentukan oleh biaya
transportasi. Produk yang berat serta besar, akan memakan biaya transportasi
besar jika dibawa kelain tempat, akan cenderung memiliki pasar yang secara
geografik sempit. Sebagai ukuran umum, pasar geografik merupakan tempat dimana
penjual produk tertentu melakukan aktivitas usahanya.
b. Merger Vertikal (vertical merger)
merger vertical terjadi antara
perusahaan-perusahaan yang salah satunya merupakan supplier bagi yang lain.
Dengan kata lain, merger vertical adalah merger diantara perusahaan-perusahaan
yang berada dalam hubungan pembeli-penjual (buyer-seller relationship). Merger
yang terjadi antara suatu manufacturer dengan distributor suatu produk adalah
contoh dari jenis merger ini,karena manufacturer merupakan supplier bagi
distributor.
Merger vertical ini juga bisa dibedakan
menjadi dua, yaitu:
• Merger vertical maju (forward vertical
merger)
Merger vertical maju didikatakan terjadi
apabila suatu perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan lain yang
merupakan distributornya, misalnya perusahaan otomotif yang membeliperusahaan
distributornya. Akibat buruk yang dikhawatirkan adalah bahwa suatu perusahaan
lantas tidak mendapat akses kepada perusahaan distributor yang secara vertical
telah digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.
• Merger vertical mundur (backward vertical
merger)
Merger vertical mundur terjadi dalam hal suatu
perusahaan membeli dan menggabungkan perusahaan yang lain merupakan
supplier-nya. Perusahaan otomotif yang membeli perusahaan ban yang menjadi
supplier-nya merupakan contoh merger jenis ini.merger ini bisa membawa akibat
merugikan bagi persaingan dalam hal merger itu membuat pelaku usaha kesulitan
untuk mendapatkan komponen bagi prroduknya, karena perusahaan distributor
komponen itu telah digabungkan dengan perusahaan pesaingnya.
c. Merger persaingan potensial (potential
competition merger)
Merger persaingan potensial terjadi apabila
suatu perusahaan yang bermaksud memasuki pasar dalam suatu industri dibeli dan
digabungkan dengan perusahaan yang sudah eksis di pasar itu, yang akan
tersaingi jika ada perusahaan baru masuk dalam pasar industri itu. Hasil dari
merger persaingan potensial ini adalah bahwa calon pesaing yang akan hadir di
suatu pasar akan menjadi lenyap.
Kasus yang menarik sehubungan dengan merger
ini yaitu kasus FTC v. Procter & Gamble Co. yang diputus oleh pengadilan
amerika serikat tahun 1067. dalam kasus itu pengadilan melarang merger antara
Procter & Gamble dan Clorox. Procter & gamble adalah produsen alat-alat
rumah tangga, sedangkan Clorox adalah produsen pemutih pakaian yang memegang
49% pangsa pasar untuk produk pemutih pakaian. Meskipun kedua perusahaan itu
tidak dikatakan berada dalam pangsa pasar, pengadilan melarang kedua nya untuk
melakukan merger dengan alasan bahwa Procter & Gamble sebagai perusahaan
besar akan bisa memproduksi pemutih pakaian dimasa mendatang dan dengan begitu
akan memiliki pangsa pasar yang dominant. Jadi, untuk pasar produk pemutih
pakaian, pengadilan berpendapat bahwa penggabungan Clorox dengan procter &
gamble merupakan merger persaingan potensial. Pengadilan berkeinginan supaya
Clorox alih-alih digabung kan dihadapkan dengan calon pesaing yang potensial.
2. Penentuan Harga (Price Fixing)
Praktek kedua yang masuk dalam katagori
tindakan antipersaingan adalah menentukan harga (price fixing). Penentuan harga
yang bisa terjadi secara vertical maupun horizontal ini di anggap sebagai
hambatan perdagangan (restraint of trade) karena membawa akibat buruk terhadap
persaingan harga(price competition). Jika penentuan harga di lakukan,kebebasn
untuk menentukan harga independen menjadi berkurang.
a) Penentuan harga horizontal (horizontal
price fixing)
penentuan harga secara horizontal terjadi
apabila lebih dari satu perusahaan yang berada pada produksi yang sama,dengan
demikian sebenarnya saling merupakan pesaing,menentukan harga jual produk
mereka dalam tingkat yang sama.
b) Penentuan harga vertical (vertical price
fixing)
Penentuan harga secara vertical terjadi
apabila suatu perusahaan yang berada dalam tahap produksi tertentu, menentukan
harga produk yang harus dijual oleh perusahaan lain yang berada dalam tahap
produksi yang lebih rendah. Sebagai contoh sederhana, apabila sebuah perusahaan
distributor menentukan harga barang yang harus dijual pada konsumen oleh
pengecer terjadilah vertical price fixing.
Praktek-praktek berikut ini merupakan beberapa
variasi dari tindakan penentuan harga.
1) Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements
Resale price maintenance merupakan praktek
pemasaran dalam mana seorang (suatu perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian
dengan distributor atau produsen setuju untuk menjual barang/jasa dengan harga
tertentu atau harga minimum tertentu.
2) vertical maximum price fixing
Mirip dengan RPM arrangements, vertical
maximum price fixing, terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu produk
membuat kesepakatan dengan pengecer yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk
menjual produk dibawah harga maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau
distributor nya.
3) consignments
Praktek penjualan berikutnya yang memancing
perdebatan pro dan kontra adalah consignments. Praktek consignments (penitipan,
konsinyasi) dalam konteks usaha terjadi apabila suatu perusahaan pengecer
menjual barang yang secara lagal masih menjual milik produsen dan sebagai
imbalannya ia memperoleh komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi
produsen adalah menentukan harga produk yang dititipkannya. Memang salah satu
prinsip hukum persaingan yang sudah diakui, setidaknya di amerika serikat,
adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah menjual produknya kepada
pengecer, ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang harus dipasang
oleh pengecer itu terhadap konsumen. Prinsip ini antara lain dikuatkan melalui
putusan atas kasus Dr. Miles Medical Company (1911) dan Albrecht v. herald Company
(1968) yang terjadi di amerika serikat.
Dalam hubungan consignments prinsip itu bisa
diterobos melalui fakta bahwa meskipun secara nyata barang berada di tangan
pengecer, kepemilikan barang tersebut tidak berpindah pada si pengecer.
3. Pembagian pasar secara horizontal
(horizontal market divisions)
Pembagian pasar secara horizontal merupakan
salah satu cara untuk menghindari persaingan yang bisa diambil oleh
perusahaan-perusahaan yang saling bersaing dalam suatu usaha.
Tujuan dari pembagian pasar secara horizontal
ini sebenarnya adalah mengurangi persaingan dengan cara menentukan pasar yang
bisa dikuasai secara eksklusif oleh masing-masing pesaing. Kalau
perusahaan-perusahaan sigaret dalam satu pasar nasional mengadakan perjanjian
yang berisi pembagian pasar nasional menjadi pasar-pasar regional dalam mana
mereka masing-masing bisa melakukan monopoli didalam pasar regional yang
‘ditagihkan’ untuk mereka. Disamping secara geografik, pembagian pasar bisa
pula dilakukan dengan menggunakan criteria lain, konsumen misalnya.
4. Pembatasan Perdagangan Secara Vertical
Dengan Menggunakan Instrument Nonharga (Non-Price Vertical Restraints)
Vertical price fixing menunjukkan bahwa
perdagangan bisa terhambat ketika perusahaan yang berada pada level usaha
tertentu mengikat perusahaan lain pada level usaha dibawahnya dengan cara
menentukan harga.
Disamping dengan menggunakan harga,
perdagangan secara vertical juga bisa terlambat oleh perjanjian-perjanjian
vertical yang menggunakan instrument selain haraga (non-price instrument).
Setidaknya ada dua instrument non harga yang bisa dipakai untuk menghambat
perdagangan serta sekaligus menghindari persaingan.
a. hambatan berdasarkan wilayah (territorial
restraints)
hambatan berdasarkan wilayah bisa terjadi
apabila produsen dari suatu produk membuat perjanjian dengan distributor atau
pengecer tentang wilayah usaha mereka masing-masing.
Produsen minuman ringan (soft-drink) merupakan
salah satu perusahaan yang sering melakukan territorial restraints terhadap
wilayah usaha distributor atau pengecernya. Perusahaan raksasa Coca-Cola dan
pepsi Cola misalnya, lazim membuat batasan mengenai wilayah usaha setiap
perusahaan distributor yang membotolkan (bottling) minumannya.
Perusahaan-perusahaan pembotolan itu biasanya sudah ditentukan wilayah
distribusinya, terutama untuk menghindari persaingan antar distributor.
b. hambatan berdasarkan pengguna produk
(customer restrictions)
didalam hubungan dengan distributor atau
pengecer produknya, produsen bisa membuat batasan tentang segmen konsumen mana
saja yang bisa dijadikan target penjualan oleh distributor atau pengecernya
itu. Langkah ini umumnya dilakukan untuk mencegah supaya distributor atau
pengecer tidak menyaingi produsen yang sudah mempunyai segmen konsumen besar
tersendiri.
5. Tying-In Arrangements
Tying-in arrangements merupakan salah satu
strategi penjualan yang juga berpeluang untuk menggangggu persaingan. Secara
sederhana tying-in arrangements bisa didefinisikan sebagai penjualan suatu
produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang
sebenarnya bisa dibeli oleh pembeli itu dari penjual lain. Persyaratan
pembelian ini dianggap bersifat ilegal apabila mengganggu persaingan.
Mengenai tying-in arrangements umumnya hukum
persaingan Negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya praktek ini tidak
dengan sendirinya illegal. Pengecer menawarkan satu kantong terigu merek A
setengah harga apabila pembeli juga membeli satu kantong gula pasir merek A
merupakan contoh dari tying-in yang diperbolehkan jika perusahaan A sebagai
produsen terigu merek A, tidak memegang monnopoli, baik di pasar produk terigu
atau pun gula pasir.
Hal lain yang membuat praktek ttying-in bisa
dibenarkan adalah jika penjual bisa menunjukkan bahwa tying-in dilakukan atas
dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan
untuk menghindari kerusakan.
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan yang
sering kali bisa diterima di pengadilan. Di Jerman misalnya, dalam kasus
Wirtschaft und wettbewerb, pengadilan memperbolehkan tindakan dua surat kabar
di Stuttgart yang melakukan praktek tying-in dengan cara mengharuskan pemasang
iklan di salah satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya.
Di samping tying-in, ada pula praktek lain
yang mirip yang disebut full-line forcing. Praktek ini terjadi apabila
distributor dari suatu produk harus membeli juga keseluruhan “product line”
dari produsen.
6. Exclusive Dealing
Exclusive dealing adalah praktek antara
penjual dan pembeli (biasanya retailer) yang berisi kesepakatan bahwa penjual
bersedia menjual produknya dengan syarat bahwa pembeli tidak membeli produk
pesaing penjual. Jadi, kalau tying-in arrangement berisi keharusan untuk
membeli produk lain dari produsen yang sama, exclusive dealing berisi larangan
untuk bertransaksi dengan perusahaan pesaing penjual. Kalau diperhatikan, baik
tying-in arrangement maupun exclusive dealing akan membawa akibat berupa
terhambatnya transaksi perusahaan pesaing. Praktek ini juga disebut sebagai
refusal to deal.
7. Diskriminasi harga (price Discrimination)
Diskriminasi harga oleh Graham &
Richardson didefinisikan sebagai “the power of a firm to charge different
prices to different groups of customers”. Penetapan harga yang lebih murah bagi
pelanggan tetap merupakan contoh sederhana dari diskriminasi harga. Umumnya
diskriminasi harga ini diterapkan oleh perusahaan yang sedang berupaya
memperluas atau membuka pasaran baru bagi produknya.
Dari sisi konsumen, memang praktek
diskriminasi harga bisa menguntungkan apabila mereka termasuk sebagai konsumen
yang dikenai harga yang lebih rendah. Namun, dilihat dari kondisi persaingan,
praktek diskriminasi harga terutama pemberian harga rendah bagi consume
tertentu, bisa merupakan praktek yang tidak sehat.
Contohnya, perusahaan A dan B menjual produk
yang sama dan saling merupakan pesaing utama di san fransisco. Perusahaan A
juga menjual barangnya di Oakland, sedangkan perusahaan B tidak. Apabila
perusahaan A mengenakan harga yang berbeda bagi konsumennya di San Fransisco
dan di Oakland, tindakan ini mungkin merupakan praktek yang tidak sehat.
Kemungkinan yang berpeluang besar untuk terjadi dalam contoh tersebut adalah
bahwa perusahaan A akan memberikan harga yang lebih rendah bagi konsumen di San
Fransisco, karena ia berharap untuk merebut konsumen pesaingnya. sementara
untuk menutup hilangnya keuntungan yang diharapkan diperoleh dari konsumen San
Fransisco, ia bisa membebankan pada konsumen di Oakland, tempat dimana ia tidak
memiliki saingan yang berarti.
Dalam jangka panjang, jika praktek itu dibiarkan
terjadi, besar kemungkinan perusahaan B akan gulung tikar. Praktek permainan
harga dengan tujuan mematikan pesaing seperti ini secara khusus disebut
predatory pricing.
8. Bid-rigging
Bid-rigging adalah praktek antipersaingan yang
bisa terjadi diantara para pelaku usaha yang seharusnya saling merupakan
pesaing dalam suatu lelang. Secara sederhana, bid-rigging adalah kesepakatan
untuk, alih-alih bersaing, mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang,
melalui pengelabuan harga penawaran.
9. Boikot (Boycotts)
Boikot dalam konteks persaingan usaha
merupakan tindakan mengorganisir suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha
dengan pihak tertentu. Dengan demikian, boikot merupakan suatu concerted action
(tindakan bersama) yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak membeli
produk perusahaan tertentu yang karena suatu alasan tidak mereka sukai.
10. Interlocking Directorates
Ketentuan ini melarang seseorang untuk pada
saat yang sama menjadi direktur sari beberapa perusahaan dengan criteria tertentu
(diantaranya modal, surplus, dan keuangan). Kekhawatiran utama terhadap praktek
ini muncul dari kemungkinan bahwa pemusatan kekuasaan untuk membuat keputusan
(decision-making power) bisa digunakan untuk menghindari persaingan.
11. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of
dominant position)
Penyalahgunaan posisi dominan sesungguhnya
merupakan praktek yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang pelaku usaha yang
memiliki dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan supaya konsumennya tidak
berhubungan dengan pesaingnya, ia telah melakukan penyalahgunaan posisi
dominan. Demikian juga apabila seorang pelaku usaha yang memegang posisi
dominan dengan basis “take it or leave it” membuat penentuan harga di luar
kewajaran.
Tentang penyalahgunaan posisi dominan ini
Negara-negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Ada Negara-negara yang
ketentuan persaingannya menjelaskan tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori
ini dan ada pula Negara-negara yang menyerahkan penafsiran tentang tindakan ini
semata-mata pada otoritas hukum persaingan.
Jepang merupakan salah satu Negara yang
memiliki pengaturan yang cukup rinci mengenai “abuse of dominant position” ini.
Fair trade commission of japan (ftcj) selaku otoritas persaingan. Jepang telah
menyusun suatu designation of unfair businnes practices. Pasal 14 dari
designation ini memuat 5 kategori tindakan yang tergolong dalam penyalahgunaan
posisi dominan, yaitu sebagai berikut:
a) mensyaratkan pihak lain untuk melakukan
transaksi pembelian barang atau jasa dari perusahaan yang dominan, padahal
barang atau jasa itu berbeda dari barang atau jasa yang tegas-tegas menjadi
objek transaksi.
a) Mensyaratkan pihak lain untuk melakukan
penawaran uang, jasa, atau keuangan ekonomi lain secara terus-menerus kepada
perusahaan yang dominan.
b) Membuat atau mengubah syarat-syarat
transaksi yang merugikan pihak lain.
c) Menimbulkan kerugian terhadap pihak lain
dengan syarat-syarat transaksi atau dengan cara selain yang telah disebutkan
diatas.
d) Mensyaratkan supaya pihak lain (perusahaan
lain) mengikuti pertunjukkan atau memperoleh persetujuan dari suatu perusahaan
dominan didalam menunjuk pengurus perusahaan itu.
Ada satu perbedaan yang cukup mendasar antara
jepang dan Negara-negara lain (khususnya uni eropa) didalam memandang praktek
penyalahgunaan posisi dominan ini. Artikel 86 perjanjian roma yang menjadi
dasar pelarangan penyalahgunaan posisi dominan Negara-negara uni eropa
menyatakan bahwa pelarangan itu ditujukan kepada perusahaan yang memegang
posisi dominan di pasar (market dominance) dan dengan demikian memiliki
kekuatan untuk mengontrol pasar Jepang memiliki pendekatan yang agak berbeda
tentang penafsiran “posisi yang dominan”, menurut praktek jepang, “posisi yang
dominan” tidak harus dipegang oleh perusahaan yang memiliki dominasi pasar.
Alih-alih, ‘posis yang dominan’ ini diartikan dalam konteks level transaksi.
Dengan demikian, menurut jepang, suatu perusahaan kecil yang tidak memiliki
dominasi pasar pun bisa saja memegang posisi yang dominan, apabila mitra
transaksinya jauh lebih kecil dari pada perusahaan itu.
Jadi, bisa dilihat bahwa tujuan pelarangan
penyalahgunaan posisi dominan di jepang adalah untuk melindungi
perusahaan-perusahaan kecil, sementara tujuan itu di uni eropa terutama adalah
untuk melindungi struktur yang lebih luas.
B. Tindakan Persaingan Curang
Tidak setiap Negara membuat perbedaan yang
tegas antara ‘tindakan antipersaingan’ di satu sisi dan ‘tindakan persaingan
curang’ disisi lain. Keduanya memang bisa dianggap memiliki persamaan dalam
arti sama-sama merupakan perilaku usaha yang tidak dikehendaki. ‘tindakan
antipersaingan’ adalah tindakan yang bersifat mencegah terjadinya persaingan
(anticompetitive) dan dengan demikian mengarah pada terciptanya kondisi
tanpa/minim persaingan (monopoli, posisi dominan), sedangkan ‘persaingan
curang’ adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan dalam kondisi persaingan.
Bahkan, pelaku usaha kecil yang tidak memiliki potensi memonopoli pasar bisa
saja melakukan tindakan persaingan curang.
Heinz Lampert mentebut tindakan persainga
curang sebagai persainngan tidak sehat yang melanggar moral yang baik. Secara
nonlimitatif Lampert memberikan contoh tindakan yang tergolong dalam persaingan
curang, antara lain sbb:
- Mempengaruhi
konsumen melalui tipuan atau informasi yang menyesatkan.
- Memalsu
merek dagang pihak lain
- Mengirimkan
barang yang tidak di pesan sehingga menyebabkan penerima dalam posisi
dipaksa
- Membuat
iklan tandingan yang menjelek-jelekkan pesaing.
- Menyebarkan
informasi palsu tentang pesaing.
- Melakukan
boikot.
- Penurunan
harga secara tidak wajar.
Anderson mengatakan bahwa konsep persaingan
yang jujur (fair competition) dan persaingan curang (unfair competition) muncul
berkaitan dengan metode persaingan. Hampir sama dengan Lampert yang mengatakan
persaingan curang sebagai persaingan yang melanggar moral yang baik. Anderson
menegaskan bahwa konsep persaingan curang didasarkan pada pertimbangan etika
usaha.
Dengan mengacu pada pengaturan di dalam hukum
Amerika Serikat (codes of fair competition and fair trade commission act) Anderson
mengidentifikasikan tindakan-tindakan berikut sebagai metode persaingan curang,
yaitu:
• Menyebarkan informasi palsu tentang produk
pesaing
• Meremehkan produk pesaing
• Menyerang pribadi pesaing
• Mengganggu penjual produk pesaing
• Merusak produk pesaing
• Menghambat pengiriman produk pesaing
• Mengintimidasi konsumen produk pesaing
• Menyuap pembeli produk pesaing
• Mengatur boikot terhadap produk pesaing
• Memata-matai pesaing secara ilegal
• Mencuri rahasia perusahaan produk pesaing
• Mengganggu pesaing melalui pengajuan gugatan
palsu
• Membuat kesepakatan untuk menyingkirkan
pesaing dari pasar
• Membujuk pekerja perusahaan pesaing untuk
mogok.
• Menjual produk dengan harga dibawah biaya
harga produksi
• Memberikan pengurangan harga secara tidak
wajar, baik secara langsung maupun melalui diskon.
JENIS
DAN USAHA BANK
Sebelum menguraikan tentang jenis dan usaha
bank, terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian bank. Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU
Perbankan 1998).
A. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya
1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 13 tahun 1968 tentangg Bank sentral, kemudian di cabut
dengan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 3
UU Perbankan 1998).
3. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran (Pasal 1 angka 4 UU Perbankan 1998).
4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk
melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar
kepada kegiatan tertentu. Hal tersebut dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat
(2) UU perbankan 1992.
Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk
melaksanakan kegiatan tertentu adalah antara lain melaksanakan kegiatan
pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi,
pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembangan
ekspor nonmigas dan pengembangan pembangunan perumahan.
Sedangkan prinsip syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam anatara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatanusaha atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaaan berdasarkan psinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jua-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah)
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah iqtina), sebagaimana diatur
dalam pasal 1 angka 13 UU Perbankan 1998.
B. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya
1. Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang
hanya dapat dirikan berdasarkan UU.
2. Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya
dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan
BI. Ketentuan-ketentuan tentang perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan Bank
Umum Swasta ditetapkan dalam Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 1992
tentang Perbankan yang kemudian pasal-pasal tersebut telah di ubah dengan UU
No. 10 tahun 1998. sedangkan syarat-syarat untuk pendiriannya sebelum ini
diatur dalam Sk menteri keuangan RI No.220/K.ML.017/1993 tentang Bank Umum.
Setelah diundangkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan pada 10 November 1998, maka pendirian bank umum diatur
dengan SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum tanggal 12 Mei 1999.
3. Bank Campuran, yaitu bank umum yang
didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia
dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang
dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank
yang berkedudukan di luar negeri.
4. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank
Pembangunan Daerah. Berdasarkan Pasal 54 UU Perbankan 1992 dimana dinyatakan
bahwa UU No. 13 tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan
Daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu 1 tahun mulai berlakunya UU
tersebut, maka bentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan disesuaikan
menjadi Bank umum sesuai dengan UU Perbankan 1992.
C. Bank Muamalat Indonesia
Selain jenis-jenis bank yang tersebut di atas,
perlu pula dikemukakan satu bank yang bersifat khusus, yaitu Bank Muamalat
Indonesia (BMI). BMI adalah bank yang menerapkan sistem dan operasi perbankan
berdasarkan syariah Islam. Operasi perbankan berdasarkan syariah Islam adalah
dengan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang dituntun oleh
dan yang tidak dilarang oleh Al-quran dan hadis. Dan UU No.10 tahun 1998 pun
telah menampung dasar hukum operasional Bank Syariah dalam perubahan atas pasal
1 UU N0. 7 tahun 1992 dengan menyatakan bahwa Bank Umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran ( Pasal 1
angka 3 UU No.10 tahun 1998). Gagasan pendirian bank yang beroperasi
berdasarkan syariah islam ini dimulai sejak lokakarya bank tanpa bunga yang di
adakan di Cisarua, Bogor pada tanggal 18 s.d 20 Agustuss 1990. ide pertamanya
berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian didukung dan diprakarsai
oleh beberapa pejabat penting pemerintah pengusaha-penguaha yang berpengalaman
di bidang perbankan, bahkan kemudian Presiden Soeharto dan wakil presiden
Sudharmono bersedia menjading pendukung utama BMI. Didalam pertemuan antara tim
Perbankan MUI dengan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Oktober 1991 di Bina
Graha ditetapkan nama Bank Muamalat Indonesia, dan kemudian akta pendirian BMI
ditandatangani di Sahid Jaya Hotel pada tanggal 1 November 1991.
Tujuan Pendirian BMI adalah :
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial
ekonomi masayarakat terbanyak bangsa Indonesia, hingga makin mempersempit
kesenjangan sosial ekonomi dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan
nasional antara lain melalui :
a. Peningkatan kesempatan kerja
b. Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan
usaha
c. Peningakatan pendapatan masayarakat banyak
2. Meningkatkan partisipasi masayarakat banyak
dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, karena :
a. Masih banyak masyarakat yang enggan
berhubungan dengan bank.
b. Masih banyak masyarakat yang menganggap
bunga bank sebagai riba
c. Dengan keberhasilan pembangunan di bidang
agama (khusunya Islam) makin banyak masyarakat yang menganggap bunga bank
sebagai riba.
3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem
perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat banyak, hingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat
dengan antara lain memperluas jaringan lembaga keuangan perbankan ke
daerah-daerah terpencil.
Produk Penghimpunan dana BMI antara lain :
1. Giro Wadi’ah, yaitu simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana
perintah pembayaran lain atau dengan cara pemindahbukuan. Kepada penyimpan giro
wadi’ah dapat diberikan bonus atau jasa giro, sesuai dengan jumlah dana yang
ikut berperan dalam pembentukan laba bank.
2. Deposito Mudharabah, yaitu simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian
antara penyimpan dengan bank. Kepada penyimpan deposito mudharabah diberi hak
untuk memperoleh pembagian laba bank, misalnya 70% untuk penyimpan dana 30%
untuk bank yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam pembentukan
laba bank.
3. Tabungan Mudharabah, yaitu simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang
telah disepakati antara penyimpan dengan bank. Penyimpan tabungan mudharabah
diberi hak untuk memperoleh bagian laba bank, misalnya 50% untuk penyimpan dan
50% untuk bank, yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya dalam
pembentukan laba bank.
Variabel yang menentukan besarnya pembagian
laba pada tabungan ini sama dengan deposito mudharabah, namun karena pada
tabungan dimungkinkan adanya mutasi, maka variabel besarnya dana yang disimpan
diperhitungkan menurut saldo rata-ratanya.
Produk Penyaluran Dana BMI antara lain :
1. Kredit mudharabah (Qiradh), yaitu pinjaman
modal investasi dan atau modal kerja, sedangkan pengusaha menyediakan usaha dan
manajemennya dengan perjanjian atas dasar bagi hasil.
2. Kredit Murabahah yaitu kredit di mana bank
menyediakan pinjaman dana untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan oleh
debitor, yang dibayar kembali pada saat jatuh tempo.
3. Kredit Bai’Bithaman Ajil, yaitu kredit di
mana bank menyediakan pinjaman dana untuk membeli barang apa pun yang
dibutuhkan debitor, yang dibayar kembali pada waktu jatuh tempo secara cicilan.
4. kredit Al-Qardh’ul Hasan, yaitu kredit
antara bank dengan nasabah yang dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik
itu pengusaha agar usahanya dapa bangkit dan mampu melaksanakan
kewajiban-kewajibannya maupun untuk perseorangan yang berada dalam keadaan
terdesak. Penerima kredit hanya di wajibkan mengembalikan pokok pinjaman saja
pada saat jatuh tempo dengan daya beli yang sama seperti sewaktu menerima
pinjaman. Tujuan pemberian kredit ini terutama untuk memenuhi kebutuhan nasabah
akan uang tunai, baik untuk hal-hal yang bersifat konsumtif (uang sekolah,
pengobatan) maupun yang produktif (modal kerja awal).
Jasa-jasa lainnya :
1. Jual-beli Valas = Al Sarf
2. Pemberian Jaminan = Al kafalah, Al Dhamamah
3. Penerbitan L/C = Al Wakalah
4. dan jasa-jasa lainnya sebagaimana yang
dapat diberikan oleh bank umum
jenis-jenis kredit dengan sistem tersebut di
atas dimungkinkan oleh perumusan kredit dalam UU Perbankan 1992 yang menyatakan
:
Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang meminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)
Perumusan tersebut merupakan penyempurnaan
bunyi perumusan tentang kredit yang dicantumkan Pasal 1 mengenai UU poko
perbankan No. 14 tahun 1967 yang telah di cabut dengan UU perbankan 1992
tersebut.
Kemudian dengan diundangkannya UU No. 10 tahun
1998 pengertian kredit disempurnakan dengan perumusan sebagai berkut :
Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
jumlah bunga (Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1992)
Sedangkan untuk menampung bank beroperasi
dengan prinsip syariah ditambahkan perumusan tentang pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan terebut
setalah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Pasal 1 angka 12
UU Perbankan 1998)
D. Usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
Sesuai dengan pasal 6 UU No. 7 tahun 1992 yang
kemudian diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, maka usaha-usaha yang dapat
dilakukan bank meliputi :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko
sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnyya;
a. surat-surat wesel termasuk wesel
diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan
dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
b. Surat pengakuan utang dan kertas dagang
lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat termaksud
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat
jaminan pemerintah
d. Sertifikat Bank Indonesia
e. Obligasi
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan
satu tahun
g. Instrumen surat berharga lain yang
berjangka waktu sampai dengan satu tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan
sendiri maupun kepentingan nasabah
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari,
atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang
dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah
kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa
efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik
semua maupun sebagian dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya
kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha
kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
13. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah (dalam UU No. 10 tahun 1998 menjadi: Menyediakan
pembiayaan dan atau melakukan ekgiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim
dialakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan UU No. 10 tahun 1998, pasal 6 huruf k
UU perbankan 1992 tersebut dihapus dan diciptakan pasal baru yaitu pasal 12A
yang berbunyi:
1. Bank Umum dapat membeli sebagian atau
seluruh aguanan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan
kuasa atau menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitor
tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli
tersebut wajib dicairkan secepatnya.
2. ketentuan mengenai tata cara pembelian
agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam aya (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Selain melakukan kegiatan usaha tersebut di
atas, bank umum dapat pula :
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada
bank atauu perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal
ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal
sementara untuk mengatasi akibat kegagal kredit, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI (dalam
UU No. 10 tahun 1998 menjadi: Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara
untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI)
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan
pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana
pensiun yang berlaku.
Sedangkan usaha-usaha Bank Perkreditan rakyat
(BPR) antara lain:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit
3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk SBI,
deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
E. Jenis Dana Yang Dapat Dihimpun Bank
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan, jenis dana yang dapat dihimpun oleh bbank adalah sebagai berikut :
1. Giro, yaitu simpanan yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah
pembayarannya, atau dengan pemindahbukuan (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
2. Deposito, yaitu simpanan yang penarikanya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
pernyimpan dengan bank (Pasal 1 UU Perbankan 1998)
3. Sertifikat Deposito, yaitu simpanan dalam
bentuk deposito yang setifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan
(Pasal 1 UU Perbankan 1998)
4. Tabungan, yaitu simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, atau alt lainnya yang dipersamakan
dengan itu ( pasal 1 UU Perbankan 1998)
LEMBAGA-LEMBAGA
PEMBIAYAAN
A. Pendahuluan
Dengan semakin maraknya dunia bisnis, tidak
bisa kita elakkan lagi adanya kebutuhan dana yang diperlukan baik olh kalangan
usahawan perseorangan maupun usahawan yang tergabung dalam suatu badan hukum di
dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan mutu produknya,
sehigga dapat dicapai suatu keuntungan yang memuaskan maupun tingkat kebutuhan
bagi kalangan lainnya. Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini semakin banyak
orang yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang
penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain di dalam
mengembangkan usahanya. Awal mulanya keberadaan ibutuhkannya lembaga
pembiayaan, pertama kali disebutkan di dalam keputusan Presiden Nomor 61 tahun
1988 tanggal 20 Desember 1988, dan dijabarkan lebih lanjut melalui keputusan
menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang
ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Menurut pasal 1 kepres
di atas dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan lembaga pembiayaan adalah
suatu badan usaha yang di dalamnya melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung
dari masyarakat barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari
masayarakat.
Adapun bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan antara lain meliputi bidang-bidang seperti :
- Sewa guna usaha (Leasing) - Usaha Kartu
Kredit, dan
- Modal ventura - Pembiayaan Konsumen
- Perdagangan surat berharaga - Anjak Piutang
(Factoring)
Di dalam melakukan bidang-bidang usaha
tersebut, tentunya akan dilakukan oleh suatu badan usaha, yang biasanya
dilakukan oleh perusahaan dengan bentuk PT ( Perseroan Terbatas ). Untuk itu
perlu diketahui satu persatu apa arti dari perusahaan yang bergerak pada
masing-masing usaha di atas. Pengertian dari masing-masing bidang usaha
tersebut adalah sebagai berikkut :
a. Perusahaan sewa guna usaha (leasing
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara finance lease maupun operating lease untuk
digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.
b. Perusahaan modal ventura (ventura capital
company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee
company) untuk jangka waktu tertentu.
c. Perusahaan perdagangan surat berharga
(securities company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk perdagangan surat berharga.
d. Perusahaan anjak piutang (factoring
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk
pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka
pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
e. Perusahaan kartu kredit (credit card
company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli
barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.
f. Perusahaan pembiayaan konsumen (consumers
finance sompany) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang
untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.
B. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan
1. Sewa Guna Usaha (Leasing)
Kata leasing sebenarnya berasal dari kata to
lease (bahasa Inggris) yang berarti menyewakan. Leasing sebagai suatu jenis
kegiatan dapat dikatakan masih baru atau muda dalam kegiatan yang dilakukan di
Indonesia, yaitu baru dipakai pada tahun 1974. Di Indonesia sendiri sudah ada
beberapa perusahaan leasing yang statusnya suatu lembaga keuangan nonbank.
Fungsi leasing sebenarnya hampir setingkat
dengan bank, yaitu sebagai suatu sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu
tahun hingga lima tahun). Ditinjau dari segi perekonomian nasional. Leasing
telah memperkenalkan suatu metode baru untuk memperoleh capital equipment dan
menambah modal kerja.
Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus
yang mengatur tentang leasing. Namun demikian, praktek bisnis leasing telah
berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum
menpunyai pegangan yang jelas dan pasti, pada tahun 1971 telah dikeluarkan
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri
Perdagangan dan Koperasi Nomor : kep-122/MK/IV/1/1974; No. 32/M/SK/2/1974 dan
No. 30/Kpb/I/1974, tertanggal 7 Februari 1974.
Menurut keputusan bersama di atas, yang
dimaksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam
bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan,
untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala
disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Seperti diuraikan diatas, kegiatan leasing
dapat dilakukan secara finance maupun secara operating lease.
* Finance lease artinya kegiatan sewa guna
usaha di mana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi
untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati
bersama.
* Operating lease adalah kegiatan sewa guna
usaha di mana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek
sewa guna usaha.
Sebelum memulai kegiatan usaha di bidang
leasing ini, akan didahului dengan suatu kontrak antara pihak penyewa dan pihak
yang menyewa. Dengan demikian dalam usaha leasing tentunya terdapat pihak-pihak
yang bersangkutan dlam perjanjian leasing yang terdiri dari :
1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang,
dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Pihak penyewa ini disebut juga sabagai investor,
equity holders, owner participants atau trusters owners.
2. Lesse, yaitu pihak yang menikmati barang
terebut dengan membayar sewa guna yang mempunyai hak opsi.
3. Kreditur atau Lender atau disebut juga debt
holders atas loan participants dalam transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri
dari bank, insurance company (perusahaan asuransi), trust, yayasan.
4. Supplier, yaitu penjual dan pemilik barang
yang disewakan. Supplier ini terdiri dari perusahaan (manufactures) yang berada
di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.
2. Modal Ventura
Dengan banyaknya paket deregulasi yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah dewasa ini, pada dasarnya mempunyai inti untuk
memudahakan dan memberi peluang untuk mengembangkan perekonomian dan memacu
pertumbuhan ekonomi dalam segala sektor terutama sektor-sektor yang menurut
pengamatan pemerintah cukup produktif untuk dimanfaatkan.
Salah satu dari sekian banyak deregulasi
adalah munculnya satu lembaga pembiayaan baru dengan nama modal ventura (ventura
capital). Modal ventura merupakan salah atu alternatif yang dapat dimanfaatkan
oleh suatu perusahaan, karena seperti diketahui bahwa pemerintah sudah membuat
suatu komitmen dn rencana yang menyangkut pembangunan jangka panjang (PJPT
tahap II), yang selalu dan senantiasa berupa mempertahankan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan asas trilogi pembangunan yang
menekankan kepada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional, karenanya
segala sarana penyediaan dana terus diperluas termasuk mengoptimalkan peranan
dan lembaga pembiayaan.
Secara resmi, lembaga modal ventura baru ada
di Indonesia sejak adanya Keppres No.61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Yang diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1252/KMK.013/1988
tentang Ketentuan dan tata cara pelaksanaan Lembaga pembiayaan. Ketentuan di
atas merupakan landasan berpihak yang cukup kuat dan merupakan satu-satunya
peraturan pelaksanaan yang ada bagi para pemodal (investor) yang ingin
melakukan usaha atau bisnisnya.
Yang dimaksud dengan perusahaan modal ventura
(ventura capital company) adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan
usaha (invester company) untuk jangka panjang waktu tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan perusahaan pasangan usaha ( PPU) adalah suatu perusahaan yang
memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan modal
ventura (PMV).
Lembaga modal ventura juga merupakan suatu
alternatif lembaga pembiayaan lain di luar bank. Dikatakan demikian karena
memang lembaga ini di dalam memberikan dananya bagi pihak lain berbeda dengan
bank. Lembaga modal ventura tidak memerlukan benda jaminan (collacteral) untuk
dapat mengeluarkan dananya. Sedangkan bank dalam memberikan kreditnya
mewajibkan nasabahnya untuk memberikan jaminan yang diperlukan sebagai suatu
syarat yang wajib.
Seperti diketahui tidak semua pihak dapat dan
selalu mudah menyediakan benda jaminan (collacteral) untuk bisa mendapatkan
dananya di dalam mengembangkan usahanya terlebih para pengusaha menengah dan
kecil.
Jenis pembiayaan yang dialkukan modal ventura
dapt dibedakan atas 3 (tiga macam), yaitu sebagai berikut :
b. Conventional Loan, Pinjaman jenis ini bisa
diberikan tanpa jaminan dan bisa pula disertai dengan jaminan.
c. Conditional Loan, dalam model ini, Modal
ventura turut menikmati laba, bila proyek yang dibiayai menanggung keuntungan
dan turut pula menanggung rugi seandainya perusahaan yang dibiayainya ternyata
mengalami kerrugian.
d. Equity Investment, yaitu modal vnetura yang
menyertakan saham untuk mendukung kegiatan perusahaan yang baru berdiri dan
antara modal ventura dengan perusahaan yang dibiayai terjalin kerja sama di
bidang manajemen.
Untuk Indonesia tampaknya saat ini belum ada
perbedaan yang jelas dari ketiga jenis modal ventura tersebut. Selain itu
jangka waktunyapun masih dibatasi sampai 10 tahun saja.
Hubungan antara perusahaan modal ventura dan
perusahaan pasangan usaha in sebenarnya juga merupakan hubungan kepercayaan (trust)
antara kedua belah pihak. Kepercayaan ini merupakan landasan yang kuat dari
segala kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Anjak Piutang
Lembaga anjak piutang atau factoring merupakan
lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam
bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atu luar
negeri. Pada jasa factoring terbagi dalam 2 (dua ) bagian, yaitu jasa keuangan
dan jasa nonkeuangan. Dalam hal jasa keuangan biasanya perusahaan faktor dapat
memberi pre-financing sampai 80% dari piutang dagang. Sedangkan untuk jasa
non-financing, perusahaan faktor melayani pengelolaan kredit bagi kepentingan
klien.
Lembaga anjak piutang yang lebih dikenal
dengan sebutan factoring ini merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang
diperlukan dalam dunia bisnis. Usaha anjak piutang sebenarnya sudah dikenal
sejak 2.000 tahun yang lalu. Pada saat itu bentuk usaha factoring memang masih
sederhana. Pihak faktor biasanya bertindak sebagai agen penjualan yang
sekaligus pemberi perlindugnan kredit. Kegiatan semacam ini dikategorikan
sebagai general factoring.
Tampaknya belum banyak kalangan pengusaha di
Indonesia yang memanfaatkan jasa factoring dalam mendukung usahanya, baik itu
transaksi ekspro-impor maupun masalah pendanaan lainnya. Dalam praktek baru
pengusaha besar jasa yang memnfaatkan jasa ini.
Factoring memang tidak dikenal dalam sistem
hukum dagang dan hukum perdata Indonesia. Akan tetapi mengingat hukum perdata
sendiri memperbolehkan kebebasan berkontrak berdsarkan Pasal 1338 KUPerdata
praktek usaha factoring ini tentu saja sah. Oleh karena usaha factoring ini
masih baru, serta belum kuatnya landasan hukum, tentu merupakan salah satu kendala
yang menghambat perkembangan usaha factoring.
Umumnya perusahaan factoring mendapatkan
keuntungan dari segi biaya yang dikenakan, yang besarnya antara 3% dari jumlah
piutan yang dibeli. Akan tetapi, besar kecilnua persentase, tergantung pula
dari mudah tidaknya piutang tersebut ditagih, dan berat tidaknya risiko bagi
pihak penagih mana kala menagih utangnya. Sedangkan keuntungan bagi pihak
penjual piutang (kreditur dari pihak terutang), jelas akan memudahkan
kelancaran jalannya usaha, yaitu karena mengalirnya dana secara terus-menerus.
4. Usaha Kartu Kredit
Perusahaan kartu kredit (credit card company)
adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan
jasa dengan menggunakan kartu kredit.
Kartu kredit yang lebih dikenal dengan credit
card ini adalah suatu kartu plastic yang berukuran hampir sama dengan ukuran
KTP, yang diterbitkan oleh issuer (penerbit) dan dipergunakan oleh cardholder
(pemegang kartu) dan berfungsi sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai dan
pihak penerima adalah kaum usahawan/pedagang (merchant) yang telah ditentukan
oleh penrbit. Selain itu credit cardi-pun dapat diuangkan oleh pemegangnya
kepada penerbitnya.
Pada kartu kredit, setiap transaksi atau
pencairan yang dilakukan pemegang kartu kredit tersebut cukup dengan
menunjukkan kartu kreditnya untuk dicatat dan diperiksa kebenarannya. Sedangkan
kartu kreditnya tetap dikembalikan kepada pemegangnya, dan sama sekali tidak
dapat dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
Penerbitan kartu kredit itu sendiri sebenarnya
merupakan satu pemberian fasilitas kredit oleh suatu bank penerbit kepada
pemegang kartu. Pemberian fasilitas ini tidaklah berdasarkan akte-akte secara
otentik melainkan hanya dengan akte-akte di bawah tangan dan tidak mutlak harus
ada jaminan kredit. Akan tetapi bukan berarti kartu kredit mudah diperoleh oleh
siapa saja, melainkan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat
selektif yang ditentukan oleh penerbit. Selain itu transaksi-transaksi yang
dilakukan oleh pemegang kartu kredit dapat melampaui pagu kredit bahkan dapat
melampaui jumlah jaminan (depositonya), sehingga tidak cukup mengover
kreditnya, maka kebonafiditas pemegang kartu kredit akan merupakan syarat yang
sangat penting.
Dengan memperhatikan kondisi di atas, tampak
bahwa hukum yang berlaku yang mengatur masalh kartu kredit adalah hukum
kebebasan berkontrak antara para pihak berlandaskan Pasal 1338 KUPerdata
dikatakan demikian oleh karena belum ada pengaturan yang khusus yang mengatur
masalah kartu kredit tersebut.
Sekalipun belum ada dasar hukum yangg akan
menjamin kepastian hukum yang khusus mengatur masalah kartu kredit ini, tidak
menjadikan hambatan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis
sehari-hari. Kesemuanya ini tentu dilandasi oleh itikad baik masing-masing
pihak untuk bertransaksi dan menghindarkan kemungkinan sengketa atau
perselisihan.
5. Pembiayaan Konsumen
Lembaga pembiayaan konsumen (consumers
finance) adalah suatu lembaga yang dalam melakukan pembiayaan pengadaan barang
untuk kebutuhan konsumen dilakukan dengan sistem pembayaran secara angsuran
atau berkala.
Bila ada seseorang yang menginginkan
barang-barang konsumen seperti mobil, pesawat TV, radio, tape recorder, lemari
Es, tempat tidur, dan lain sebagainya, sementara penghasilannya tidak cukup
untuk membeli secara lunas, maka tidak perlu kecil hati. Sebab telah ada sebuah
lembaga yang dinamakan lembaga pembiayaan konsumen (consumer sfinance) yang
dapat membantu seseorang untuk mendapatkan barang-barang konsumsi tersebut.
Lembaga pembiayaan konsumen ini akan memberikan kemudahan bagi mereka yang
memiliki dana tersebut, bahkan kemudahannya melebihi kemudahan yang diberikan
oleh bank.
Kehadiran lembaga pembiayaan konsumen ini
sebenarnya secara informal sedah tumbuh sejak lama sebagai bagian dari
aktivitas trading. Namun secara formal baru di akui sejak tahun 1988 melalui SK
Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang secara formal mengangkat kegiatan
usaha pembayaran ke permukaan, sebagai bagian resmi sektor jasa keuangan.
Lembaga pembiayaan konsumen in berbeda dengan
bank, walaupun kedua-duanya merupakan sumber dana yang diperlukan seseorang.
Bila pembiayaan konsumen akan melihat barang-barang apa saja yang dibiayai.
Maka pada kredit bank, pihak bank cukup memandang siapa konsumen yang akan
mendapat bantuan dana. Kedua lembaga ini mempunyai kesamaan seperti, objeknya
sama yaitu barang-barang konsumsi, dan mengenakan bunga sebagai biaya.
Bahwa setiap konsumen menginginkan adanya
kemudahan, keringanan, pelayanan yang cepat, waktu yang singkat, prosedur yang
tidak birokratis dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu, beberapa hal akan
menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memilih lembaga pembiayaan mana yang
dapat membantu untuk mendapatkan barang-barang konsumen yang akan dipergunakan,
yaitu antara lain sebagai berikut :
Ø Persyaratan yang tidak rumit
Ø Proses penelitian konsumen oleh bank/lembaga keuangan
Ø Jangka waktu untuk memutuskan
Ø Uang muka yang diminta banyak atau sedikit ?
Ø Jangka waktu pembayaran yang dimungkinkan. Sebab konsumen ada
yang minta waktu pendek, dan ada yang miau jangka panjang
Ø Berapa jumlah rupiah yang dapat diberikan
Ø Berapa suku bunga yang ditawarkan, apakah cukup
kompetitif/bersaing atau tidak
Ø Adakah biaya-biaya lain seperti biaya administrasi, provisi,
notaris, dll.
HUBUNGAN-HUBUNGAN
BISNIS
A. Pendahuluan
Di dalam melaksanakan kegiatan bisni
ssehari-hari, ternyata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang
melakukannya dengan bekerja sama dengan pihak lokal dan ada pula yang
melakukannnya dengan pihak asing. Ada yang melakukannya untuk pribadi, dan ada
pula yang melakukannya untuk kepentingan perusahaan.
Hubungan-hubungan bisnis demikian tentunya
dilakukan karena mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Secara
pasti, tujuan mereka melakukan hubungan bisnis tidak lain dimaksudkan untuk
saling mencari keuntungan satu sama lain. Sealin itu ada tujuan lain seperti
untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke masyarakat luas. Ada pula yang
bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan
produknya secara langsung di suatu Negara. Namun ada pula yang melakukannya
karena ketidakmampuan untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya. Serta
tujuan-tujuan lainnya.
Sebagai contoh dalam bisnis franchise, para
pihak berhubungan dengan maksud selain untuk memasarkan produk bisnis
franchise, juga di lain pihak karena adanya pihak lain yang tidak mempunyai
modal. Demikian ul dengan hubungna bisnis yang berbentuk joint venture. Bisnis
ini merupakan kerja sama antara dua pihak karena adanya saling kepentingan
masing-masing pihak.
Untuk memperjelas arti hubungan bisnis dan
beragamnya bentuk hubungan bisnis, pada bab ini akan diuraikan beberapa
hubungan bisnis yang cukup menarik dan selalu menjadi pembicaraan masyarakat
luas serta sering menjadi telaah lebih lanjut, yaitu hubungan bisnis dalam
bentuk keagenan/distributor, franchise, joint venture, dan usaha bangun guna
serah atau lebih dikenal dengan nama BOT (Built Operate and Transfer).
B. Jenis-Jenis Hubungan Bisnis
1. Keagenan atau Distributor
Latar belakang terjadinya hubungan bisnis
keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan
untuk menjual barangnya (produksinya) secara langsung, baik ekspor/impr ke
Indonesia. Untuk itu pihak asing yang biasa disebut dengan prisipal harus
menunjuk agen-egennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan
produknya.
Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan
dengan nama distributor aadalah berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari
keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai agen,
berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila
seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan
atas nama dirinya sendiri.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya
diartikan sebagai suatu hubungan hukum di mana seseorang/pihak agen diberi
kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan
transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan
adanya suatu keagenan adalah wewenang yang dipunyai oleh agen tadi yang
bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
Sedangkan, seorang distributor tidak bertindak
untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya
supplier, atau manufacture). Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama
sendiri.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah
perbedannya antara agen/distributor dengan makelar dan komisioner? Makelar
(broker) adalah seorang yang pekerjaannya adalah bertindak sebagai perantara
dalam suatu transaksi bisnis antara pihak-pihak yang tersangkut. Makelar disini
tidak mempunyai wewenang untuk bertindak dan atas nama salah satu pihak dalam
suatu transaksi. Sedangkan apabila seseorang ingin melaksanakan jual beli, baik
jual beli barang ataupun jasa melalui perantara, dengan memberikan kuasa kepada
perantara tadi untuk bertindak atas namanya tapi atas tanggungjawab sendiri
dengan menerima komisi atas jasa-jasanya, perantara tadi disebut dengan
komisioner.
Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor
dengan prisipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis
yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak
tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal
1388 KUHPerdata.
Seorang prinsipal, misalnya, dapat merujuk
seseorang untuk menjadi agennya dengan hanya berisi beberapa baris kalimat
saja. Si agen kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah
mengethui dan menerima adanya penunjukkan dirinya sebagai agen dari prisipal
tersebut.
Apabila agen/distributor ingin mengalihkan
haknya kepada pihak lain sebagain maupun seluruhnya, tentu dibolehkan sesuai
dengan isi Pasal 1388 KUHPerdata mengenai hal kebebasan berkontrak. Di sini
para pihak bebas menentukan apakah hak dan kewajiban mereka akan dialihkan atau
tidak.
Dalam praktek perjanjuan yang diadakan antara
para pihak ternyata terdapat 3 (tiga) kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu
sebagai berikut:
1. Kemungkinan pertama, dinyatakan bahwa
masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan
sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak
lai.
2. Kemungkinan kedua, prinsipal boleh
mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga , tetapi
agen tidak.
3. Kemungkinan ketiga, prinsipal boleh
mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan
tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila
diperoleh persetujuan untuk itu dari pihak prinsipal.
Dalam perjanjian juga para pihak biasanya akan
merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan
(events of defaults) yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk
memutus perjanjian keagenan/distributor di antara mereka. Biasanya yang
dikategorikan sebagai events of defaults antara lain adalah :
1. Apabila agen distributor lalai melaksanakan
kewajibannya, sebagaimana tercntum pada perjanjian keagenan/distributor
termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
2. Apabila agen/distributor melaksanakan apa
yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
3. Apabila para pihak jatuh pailit;
4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para
pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian,
tetap harus dpierhatikan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yang pada dasarnya
menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah
adanya keputusan pengadilan. Dengan perkataaan lain, prinsipal yang bermaksud
memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup hanya dengan
mengirimkan pemberitahuan secara tertulis saja akan maksudnya itu. Prinsipal
harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang dan menunggu
adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemutusan perjanjian
keagenan.
Oleh karena sistem hukum perjanjian kita
menganut sistem ekonomi terbuka, maka dalam praktek untuk menghindari prosedur
tadi, para pihak dengan tegas menyatakan di dalam salah satu pasal
perjanjiannya bahwa untuk perjanjian keagenan, mereka setuju untuk
mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdataa. Dengan
mengeyampingkan Pasal 1266 ini, para pihak dapat melakukan pemutusan perjanjian
keagenan dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam
perjanjiannya.
Hal ini perlu diperhatikan dalam suatu
perjanjian keagenan/distributor adalah adanya pilihan hukum yang akan dipakai
para pihak. Sebab dalam hukum internasional kita kenal adanya asas pilihan
hukum ( choice of law)
2. Franchise
Franchise pandang bukan sebagai suatu usaha
(bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun system pemasarannya
yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan
pemasarannya tanpa melakukan inbestasi langsung pada outlet (tempat) penjualan,
melainkan dengan melibatkan kerja sama pihak llain (franchiseei) selaku pemilik
outlet sosok ini merupakan konsep tradisional.
Kata franchise sebenarnya berasal dari bahasa
Perancis yang berarti bebas, atau lebih lengkap lagi bebas dari perhambaan
(free form servitude). Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang
diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di
wilayah tertentu.
Franchise ini merupakan suatu metode untuk
melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke
masayarakat. Lebih spesifik lagi, franchising adalah suatu konsep pemasaran.
Sedangkan pakar lain melihat franchise tidak hanya sekadar suatu metode atau
konsep tetapi lebih merupakan suatu system. Suatu metode atau konsep yang dapat
dioperasionalkan dalam kerangka atau tatanan yang membuat hubungan lebih
teratur dan terarah, antarsubsistem yang satu dengan subsistem yang lain. Oleh
karenanya franchise diartiakn sebagai suatu system pemasarran atau system usaha
untuk memasarkan produk atau jasa tertentu.
Dapat juga disebutkan bahwa franchise adalah
hubungan berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang
atau jasa dengan memberi unsur kontrol tertentu kepada pemasok (franchisor)
sebagai imbalan bagi yang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak (franchisee)
untuk menggunakan merek dan nama braang franchisor.
Perusahaan yang memberikan lesensi disebut
Franchisor dan penyalurnya disebut franchisee. Perusahaan kecil mendefinisikan
franchising sebagai suatu system dari distribusi di mana suatu perusahaan yang
dimiliki oleh seseorang diselenggarakan seolah-olah merupakan bagian dari suatu
rangkaian yang besar, lengkap dengan nama produk, merek dagang, dan prosedur
penyelenggaraan standar.
Ada 4 (empat) hal yang menonjol dalam hal
pemasaran konsep franchise yaitu product, price, place/distribution dan
promotion (4P). keempat hal yang spesifik ini terutama tampak pada aspek
distribusinya yang dalam operasionnalnya melibatkan kerja sama dengan pihak lain
yang independen.
Franchise dapat didefinisikan sebagai suatu
system pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan
induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang
berskala kecil dan menengah (franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan
suatu system usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu
tertentu, di suatu tempat tertentu.
British Franchise Association (BFA)
mendefinisikan franchise sebagai berikut: franchise adalah contractual licence
yang diberikan oleh suatu pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee )
yang :
a. Mengizinkan franchisee untuk menjalankan
usaha selama periode franchise berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi
milik franchisor.
b. Franchisor berhak untuk menjalankan Kontrol
yang berlanjut selama periode franchise.
c. Mengharuskan franchisor untuk memberikan
bantuan pada francchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek
franchisenya (berhubungan dengan pemberian pelatihan, merchandising atau lainnya).
d. Mewajibkan franchisee untuk secara periodik
selama periodik franchise berlangsung, membayar sejumlah uang sebagai
pembayaran atas franchise atau produk atau jasa yang diberiakn oleh franchisor
kepada franchisee.
e. Bukan merupakan transaksi antara perrusahaan
induk (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan
induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
Setiap hubungan bisnis yang ada selalu saja
ada faktor kerugian dan keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise
ada keuntungan dan kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari bisnis
franchise dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Diberikannya latihan dan pengarahan yang
diberikan oleh franchisor, latihan awal ini diikuti oleh pengawasan yang
berlanjut.
2. Diberikannya bantuan financial dari
franchisor. Biaya permulaan tinggi, dan sumber modal dari pengusaha sering
terbatas. Bila prospek usaha dianggap suatu risiko yang baik, franchisor sering
memberikan dukungan financial kepada franchisee.
3. Diberikannya penggunaan nama perdagangan,
produk atau merek yang telah dikenal, nama-nama seperti Wendy’s, perwakilan
Walgreen, Dairy Queen, Holiday Inn, Mc Donald’s dan NAPA tentu telah dikenal
secara luas.
Sedangkan kerugian dalam bisnis franchise
antara lain sebagai berikut :
1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh
franchisor kadangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh francchisee.
2. Perincian setiap hari tentang
penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.
3. Hanya sedikit sekali kebebasan yang
diberikan kepada franhisee untuk menjalankan akal budi mereka sendiri. Mereka
mendapatkan diri mereka terikat pada suatu kontrak yang merlarang unruk membeli
peralatan baik peralatan maupun perbekalan dari tempat lain.
4. Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak
untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu
menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.
3. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint
Venture)
Kata joint Venture jika diterjemahkan dapat
berarti berusaha secara bersama-sama. Usaha bersama tersebut dapat mencakup
semua jenis kerja sma. Seorang ahli bernama Friedman membedakan adanya dua
macam joint venture yaitu :
1. Joint venture yang tidak melaksanakan
penggabungan modal, sehingga kerja sama tersebut hanya terbatas pada know-how
yang dibawa ke dalam joint venture. Know-how di sini mencakup “technical
servise agreements, franchise and brand use agreemenr, contruction and other
job performance ccontract, management contracts and rental agreements”. Menurut
Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak
pertama menuju kerja sama yang lebih permanen, yang pada saatnya akan beralih
pada kerja sama berdasarkan penggabungan modal.
2. Jenis kedua adalah joint venture yang di tandai
oleh partisipasi modal. Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua,
Friedman menggunakan istilah joint venture untuk yang pertama, dan equity joint
venture untuk jenis yang kedua.
Bila kita lihat pengertian joint venture
seperti yang dikemukakan. Tampaknya Friedman agak berlainan dengan yang dikenal
dalam praktek sehari-hari, karena partisipasi sesuatu perusahaan dalam usaha
perusahaan sudah digolongkan pada joint venure.
Dalam pengertian sehari-hari, joint venture
seringkali merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh
beberapa perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha
termasuk Know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut
perjanjiann atau kontrak yang telah sama-sama disetujui.
Istilah joint venture sering juga dinyatakan
dengan istilah lain seperti Foregin Collaborations, International Enterprise,
dan sebagainya. Pada hakikatnya istilah tersebut ialah usaha joint venture
seperti yang disebut diatas, walaupun multinational enterprise mencakup
Negara-negara yang lebih besar jumlahnya, seperti perusahaan-perusahaan raksasa
Amerika, Eropa, dan Jepang, yang bekerja sama dengan modal-modal domestic di
mana-mana. Misalnya : General Motors Ford Motor, Standar Oil, General Electric,
Hitachi dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, dapat disebutkan
bahwa usaha joint venture memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
a. Adanya perusahaan baru yang didirikan
bersama-sama oleh beberapa perusaahan lain.
b. Adanya modal perusahaan joint venture yang
terdiri dari know-how dan modal saham yang disediakan oleh
perusaahaan-perusahaan pendiri. Kekuasaan dalam joint venture sesuai dengan
banyaknya saham yang ditanam oleh masing-masing perusaahaan pendiri.
c. Bahwa perusahaan-perusahaan pendiri joint venture
tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
d. Khusus untuk Indonesia seperti yang kita
kenal sampai sekarang, joint venture merupakan kerja sama antara perusahaan
domestic dan perusaahaan asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau
modal swasta.
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukankan
mengapa pelu dilakukan usaha penggabungan suatu perseroan. Alasan-alasan
dimaksudd antara lain sebbagai berikut :
1. Untuk mengambil alih suatu perusahaan yang
sedang berjalan untuk memperluas suat pasaran.
2. Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
pajak.
3. Untuk mendapatkan sumber-sumber baru bagi
barang-barang.
4. Untuk memperoleh cadangan unag tunai.
Perlu dikemukakan bahwa penggbungan joint
venture berbeda dengan teori yang ada pada literature yang menyebutkan adanya 3
(tiga) bnetuk penggabungan usaha suatu badan hukum yaitu konsolidasi, merger,
dan akuisisi.
v Konsolidasi berarti bergabungnya dua atau lebih suatu badan
usaha menjadi suatu badan usaha baru. Misalnya : PT A, PT B, PT C dilebur
menjadi satu perseroan yang baru misalnya menjadi PT D.
v Merger berarti penggabungan beberapa badan usaha, di mana
sampai saat ini peraturan mengenai merger hanya ada untuk usaha di bidang
perbankan saja sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor: 278/KMK.01/1989 tanggal
25 maret 1989 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 21/15/BPPD. Misalnya : PT
Bank A, PT Bank B, PT Bank C bergabung dengan PT Bank A. PT Bank B, dan PT Bank
C dibubarkan/dimatikan (dissolve).
v Akuisisi berarti pengambilalihan suatu badan usaha oleh badan
usaha lain dengan tetap menggunakan badan usaha yang lama.
4. Usaha Bangun Guna Serah BOT (Built Operate
and Transfer)
Lembaga BOT sebagai bentuk hubungan bisnis
yang terakhir ini tampaknya masih jarang dikenal oleh masyarakat luas. Namun
dalam praktek bisnis sehari-hari bentuk lembaga BOT sudah mulai berjalan dan
menjadi perhatian yang menarik yang menarik untuk ditelusuri lebiih jauh.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Bangun Guna Serah adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan
antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang
hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa
perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.
Hubungan bisnis bangun guna serah ini akan
membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu pihak si pemilik tanah tidak
mempunyai modal untuk membangun di atas tanah tersebut. Sedangkan si pemilik
modal (investor) mempunyai dana, namun tidak memiliki tanah untuk membangun.
Dengan demikian lembaga ini membawa kepentingan yang sama-sama baik bagi kedua
belah pihak. Hal ini tentu saha harus jelas disebutkan klausula-klausula
perjanjian bangun guna serah yang akan mereka buat. Dan perjanjian yang akan
dibuat oleh si pemilik maupun si investor tentunya akan berpedoman pada
ketentuan hukum yang berlaku seperti KUHPerdata seta adanya itikad baik untuk
melaksanakannya.
Bila ditilik dari sudut perpajakannya,
ternyata hubungan bisnis bangun guna serah telah diatur secara jelas dalam SK
Menteri di atas, Misalnya dapat disebutkan bahwa biaya mendirikan bangunan di
atas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan investor
untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan
jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi (disusutkan)
dalam jumlah yang sama besar setiap tahunnya selama masa perjanjian bangun guna
serah.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2008. Pengantar Hukum Bisnis
Menata Bisnis Modern Di Era Global. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Burton Simatupang, Richard. 2003. Aspek Hukum
Dalam Bisnis. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Widjanarto. 2007. Hukum Dan Ketentuan
Perbankan Di Indonesia. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.
Komentar
Posting Komentar