Prospek Perbankan Syariah Pasca Lahirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
A. Latar Belakang
Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya Undang-Undang Perbankan Syariah akhirnya diayahkan oleh DPR-RI pada hari Selasa, 17 Juni 2008. Pengesahan UU Perbankan Syariah ini tidak mulus karena hanya 9 fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU menjadi UU, sementara satu fraksi yaitu Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) menolak RUU itu.
Bank Syariah telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1992. Hingga tahun 1998, hanya satu bank syariah beroperasi di Indonesia. Hal itu disebabkan dari tahun 1992 hingga 1998, di dalam sistem perundangan Indonesia tidak dikenal adanya sistem perbankan syariah, namun hanya mengenal prinsip bagi hasil dalam usaha perbankan seperti tercermin pada UU No.7/1992 yang hanya menguraikan secara sepintas pasal-pasal jenis dan usaha bank.
Setelah keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dan mengakomodir peraturan tentang bank syariah, serta diperkuat oleh UU Bank Indonesia Nomor 23 tahun 1999, barulah lahir bank syariah lain dan berkembang dengan pesat.
Meskipun pada UU Nomor 10/1998 telah mengakomodir peraturan bank syariah, namun belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Pada UU tesebut ketentuan bank syariah baru diatur sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. UU tersebut juga mengubah masing-masing satu ayat pada pasal 6 dan 7 yang berkaitan dengan pembiayaan bagi hasil, serta pasal 13 yang berkaitan dengan usaha bank perkreditan rakyat. Dengan demikian, sebelum disahkannya UU Perbankan Syariah oleh DPR-RI, lembaga dan operasional bank syariah di Indonesia belum memiliki payung Undang-Undang tersendiri.
Dengan lahirnya UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, perkembangan bank syariah ke depan diharapkan akan mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah: Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Mengenai Perbankan Syariah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah.
b. Bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
c. Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d. Bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;
Mengingat:
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
II . PELUANG PASCA UU No. 21 TAHUN 2008 PERBANKAN SYARIAH
Pasca Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
UU ini terbit tanggal 16 Juli 2008 adalah landasan hukum yang mendorong industri Perbankan Syariah Nasional untuk tumbuh lebih cepat lagi. Langkah konkrit lainnya, Bank Indonesia telah merumuskan Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek-aspek strategis. Salah satunya, penetapan visi 2010 sebagai industri Perbankan Syariah terkemuka di ASEAN.
Bank Syariah di Indonesia secara konsisten telah menunjukkan perkembangannya dari waktu ke waktu,. Pada awal tahun 2009, asset Bank Syariah terhadap total keseluruhan bank telah mencapai 2,24%, adapun dalam hal penghimpunan dana pihak ketiga mencapai 2,18%, sedangkan dalam hal pembiayaan mencapai 2,96% dari keseluruhan Bank di Indonesia (lihat tabel 1.1).
Bank Syariah
|
Total Bank
(triliun)
| ||
Nominal (triliun)
|
Pangsa
| ||
Total Asset
|
51,814
|
2,24%
|
2.308,0
|
DPK
|
38,195
|
2,18%
|
1.748,8
|
Pembiayaan
|
38,201
|
2,96%
|
1.298,8
|
Tabel 1.1 : Pangsa Perbankan Syariah terhadap total Bank (posisi Januari 2009)
Perkembangan pertumbuhan Perbankan Syariah juga telah diikuti oleh perkembangan jaringan kantor Perbankan Syariah. Pada bulan Januari 2009, jumlah BUS adalah sebanyak 5 perusahaan, sedangkan jumlah UUS sebanyak 26 unit, dan BPRS sebanyak 132 perusahaan (lihat tabel 1.2)
2005
|
2006
|
2007
|
Mar 08
|
Jun 08
|
Sep 08
|
Des 08
|
Jan 09
| |
Bank Umum Syariah :
Jumlah Bank
Jumlah Kantor
|
3
304
|
3
349
|
3
401
|
3
402
|
3
405
|
3
497
|
5
581
|
5
585
|
Unit Usaha Syariah :
Jumlah UUS
Jumlah Kantor
|
19
154
|
20
183
|
26
196
|
28
207
|
28
214
|
28
216
|
27
241
|
26
243
|
Bank Pembiayaan Syariah
Jumlah BPRS
Jumlah kantor
|
92
92
|
105
105
|
114
185
|
117
188
|
124
195
|
128
199
|
131
202
|
132
204
|
Tabel 1.2 : jaringan kantor Perbankan Syariah di Indonesia (posisi Januari 2009)
Pada saat sekarang ini, kemajuan dan perkembangan Bank Syariah secara kuantitas sangat menggembirakan. Perkembangan ini tentunya akan semakin bertambah untuk masa-masa yang akan datang. Tentunya, perkembangan ini harus diimbangi dengan perkembangan secara kualitas. Kualitas Perbankan Syariah sangat ditentukan oleh kemampuan Bank Syariah dalam kinerja dan kelangsungan usahanya.
Perkembangan Perbankan Syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya manusia yang selama ini terlibat di institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisis ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme Perbakan Syariah itu sendiri. Ini lah yang memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni menghasilkan sumber daya manusia yang mampu mengamalkan ekonomi syariah karena sistem yang baik tidak mungkin berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya manusia yang baik pula.
Dan dengan lahirnya UU Perbankan Syariah perkembangan bank syariah ke depan akan mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah: Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada UU Perbankan Syariah dalam menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan.
UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (vide Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional. Tidak semuan usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan oleh UUS. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh BUS adalah: Pertama, menjamin penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan orang lain; Ketiga, menjadi wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Keenam, menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.
Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau jalur lain sepanjang telah diperjanjikan dalam akad (Pasal 55) merupakan tantangan bagi bank syariah untuk memilih jalur yang tepat dalam setiap akad perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di kemudian hari, mana yang bisa diserahkan kepada Peradilan Agama dan mana yang diserahkan kepada lembaga lain.
Sesuai dengan paparan singkat di atas, lahirnya UU Perbankan Syariah membuka kesempatan lebih besar untuk mendorong akselerasi perkembangan bank syariah ke depan. Semoga kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku perbankan syariah di Indonesia dengan memperhatikan tantangan yang ada agar dalam pertumbuhan bank syariah ke depan warganegara Indonesia tidak hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
A. Prospek Perbankan Syariah Pasca Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Oleh: Nasrulloh
Muqaddimah
Sejak keberadaannya tahun 1992, perbankan syariah mengalami banyak hambatan dan kendala dalam pengembangannya. Salah satu yang sering menjadi keluhan pelaku perbankan syariah adalah belum adanya regulasi, ketentuan memadai yang mengatur operasional perbankan syariah. Dengan belum memadainya aturan dan ketentuan mengenai perbankan syariah, perbankan syariah harus menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berbasis bunga. Akibatnya ciri dan karakteristik syariah dapat hilang dan tersamar dan hampir tidak berbeda dengan bank konvensional.
Keberadaan perbankan syariah saat itu direspon secara positif oleh pemerintah dengan memberikan landasan hukum melalui UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang memberi pengakuan tegas mengenai keberadaan dan perlunya bank-bank berdasarkan prinsip syariah serta memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangannya. Bila pada UU No 7 Tahun 1992 hanya diakui secara samar-samar keberadaan perbankan syariah, maka pada UU No. 10 Tahun 1998 ditegaskan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini memungkinkan kegiatan bank syariah menjadi lebih luas cakupannya dibanding dengan bank konvensional. Tulisan ini mencoba membahas prospek perbankan syarih pasca lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
B. Urgensi Lahirnya UU Perbankan Syariah
Pada tahun 1999 Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan kantor bagi bank umum syariah (BUS), bank umum konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) dan cabang syariah, serta ketentuan bagi BPR syariah, di samping berbagai Surat Keputusan BI lainnya. Selain itu juga perbankan syariah mendasarkan prinsip operasionalnya pada UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia di antaranya mempunyai tugas pokok mengatur dan mengawasi bank termasuk bank umum syariah dan BPR syariah (pasal 8).
Ketentuan ini memberi tugas kepada Bank Indonesia untuk terus menerus mengembangkan dan mengatur ketentuan mengenai perbankan serta menyiapkan infrastruktur perbankan syariah. Di samping itu dalam UU No. 23 Tahun 1999 ditetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 1999.
Keberadaan perundang-undangan tersebut merupakan amanah kepada Bank Indonesia untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan perbankan syariah agar dapat menjadi perbankan yang dapat memberi kepuasan terhadap nasabah, dan dapat menjadi alternatif yang menentukan bagi perekonomian nasional. Namun demikian, tetap saja seluruh perangkat aturan dan perundang-undangan tersebut tidak memadai sebagai acuan dan dasar hukum perbankan syariah.
Ada perbedaan mendasar yang menjadi alasan perlunya pengaturan yang lebih khas dan tersendiri untuk perbankan syariah. Pertama, seiring dengan perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat baik dari sisi volume usaha, jaringan kantor, serta kompleksitas jenis produk dan jasa serta meningkatnya kebutuhan masyarakat dan minat bank/investor untuk menyediakan jasa perbankan syariah, maka perangkat perundang-undangan tersebut terasa sudah tidak memadai lagi. Untuk itulah dirasakan pentingnya dasar hukum yang jelas dan mengikat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pengaturan perbankan syariah. UU No. 10 Tahun 1998 pada dasarnya adalah undang-undang yang mengatur perbankan secara keseluruhan dimana perbankan konvensional menjadi titik tekannya.
Terdapat kesan undang-undang tersebut mensubordinasikan atau menganaktirikan perbankan syariah. Pasal-pasal yang menyangkut perbankan syariah masih terlalu sedikit dibanding dengan banyaknya atauran atau ketentuan yang harus dimuat. Produk dan jasa perbankan dijelaskan secara terbatas dan tidak komprehensif karena hanya mengikuti ketentuan umum perbankan konvensional saja. Hal-hal yang seharusnya menjadi dasar operasional bank syariah dilarang dalam undang-undang tersebut, sebaliknya hal-hal yang dilarang di situ justru oleh bank syariah dianggap menjadi cover business-nya.
Misalnya, pada pasal 6, 7, dan 10 UU perbankan No. 2 Tahun 1992 dan perubahannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang kegiatan usaha. Dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 1992 dinyatakan “ bank umum dilarang (a) melakukan penyertaan modal, kecuali....”. Pasal tersebut sekalipun adanya penjelasan tambahan dalam pasal lain, seperti pasal 6 dan 7 UU No. 10 Tahun 1998 tetapi sangat terbatas pada pasal 6 ayat m dan pasal 7 ayat c. Dapat dibayangkan operasional sebuah bank umum hanya dijelaskan dalam 3 sampai 4 ayat dari suatu undang-undang. Selanjutnya bagi Bank Perkreditan Rakyat hanya boleh melakukan kegiatan usaha yang jenis-jenisnya telah ditentukan dalam Pasal 13 dan dilarang melakukan kegiatan yang ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Perbankan.
Menurut Sjahdeini usaha yang dilarang dijalankan oleh bank umum adalah penyertaan modal kecuali pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan sedangkan salah satu jenis kegiatan usaha syariah ialah transaksi penyertaan antara lain dalam bentuk musyarakah atau syarikah atau partnership atau participation financing. Hal yang dilarang dilakukan oleh bank konvensional adalah melakukan transaski jual beli barang, sedangkan perbankan syariah adalah melakukan transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, bai’ salam, dan istisna.
Hal yang berbeda lainnya menurut Sjahdeini adalah transaksi leasing dalam perbankan syariah yang disebut dengan ijarah dan ijarah wa iqtina yang menurut undang-undang perbankan membeli barang dari pemasok barang dengan memberikan fasilitas bai’salam kepada pemasok barang. Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga pembiayaan konvensional, pada akhir perjanjian ijarah barang yang disewa itu harus dikembalikan kepada pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Dengan kata lain, pada perjanjian ijarah kepemilikan atas barang tetap ada pada bank. Apabila pada akhir masa perjanjian, nasabah diberi opsi untuk memilih untuk memiliki barang tersebut atau mengembalikannya, maka disebut ijarah wa iqtina.
Dalam hal aset, sebagian besar dari aset perbankan konvensional adalah dalam bentuk fixed interest instrument yang relatif mudah dinilai. Di samping itu, perbankan tradisional memiliki metode untuk melakukan penilaian aset perbankan konvensional yang telah diakui apabila aset tersebut menjadi tidak produktif (non-performing loan). Sebaliknya adalah sulit sekali menilai aset perbankan syariah, misalnya yang berupa saham di suatu perusahaan patungan yang dibentuk berdasarkan perjanjian musyarakah.
Ketentuan perpajakan bagi perbankan konvensional tidak dapat diterapkan begitu saja bagi perbankan syariah. Bunga (interest) yang dibebankan oleh perbankan konvensional merupakan pendapatan yang pasif (passive income), sedangkan keuntungan yang merupakan pendapatan bagi perbankan syariah merupakan earned income yang dilihat dari aspek hukum pajak harus diperlakukan berbeda. Selain itu, di dalam trade financing, yang merupakan jasa perbankan syariah berlaku ketentuan bahwa pengalihan hak terjadi dua kali, yang pertama dari penjual kepada bank dan yang kedua dari bank kepada pembeli, dengan demikian terhadap rekening itu dikenai pajak dua kali yang akibatnya lebih lanjut akan mengurangi pendapatan dari perusahaan.
Kedua, pada sisi lain perbankan syariah memiliki nilai dan prinsip yang berbeda dengan perbankan konvensional. Pada tingkat paradigmatik, perbankan syariah memiliki seperangkat nilai dan aturan moral yang baku yang tentu saja berbeda secara diametral dengan perbankan konvensional. Pada teknis operasionalnyapun demikian, perbankan syariah memerlukan pengaturan yang berbeda dan khusus dengan perbankan konvensional. Misalnya dalam sistem pengawasan, penilaian tentang CAR (capital adequacy ratio), penilaian kualitas aktiva produktif (KAP), penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP), dan lain-lain.
Dalam penentuan kualitas aktiva produktif, pada saat ini ketentuan tersebut didasarkan atas SK Direksi BI No. 31/147/KEP/DIR tahun 1998. pada ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Bank Indonesia memberlakukan penilaian yang sama terhadap kualitas aktiva bank syariah terhadap semua produk yang diberlakukan di bank syariah. Padahal dalam bank syariah, produk bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) antara pihak bank sebagai pemilik dana dan nasabah sebagai pengelola dana disepakatai bahwa pendapatan yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan porsi nisbah yang telah dicantumkan dalam perjanjian. Pendapatan yang akan diterima belum pasti dan masih berupa perkiraan pendapatan, bisa tinggi, bisa rendah, bahkan mungkin merugi, sehingga dalam kondisi ini masing-masing pihak bersepakat berbagi risiko dan keuntungan. Sementara itu dalam jual beli,
bank syariah mengambil keuntungan dari selisih antara harga beli dan harga jual, sehingga jumlah piutang dan waktu pembayaran ditentukan secara pasti (fix) pada saat akad. Keadaan ini memberikan kejelasan dalam penilaian kualitas aktiva pada akhir perjanjian. Berdasarkan prinsip tersebut, penilaian kualitas aktiva produktif bagi bank syariah hanya untuk produk-produk yang didasarkan pada jual beli saja, sedangkan bagi produk pembiayaan bagi hasil tidak bisa diterapkan ketentuan penilaian ini. Di samping itu, bila regulasi Bank Indonesia mengenai kualitas aktiva ini disandingkan dengan regulasi BI lain mengenai kegiatan usaha bank syariah pasal 28 SK BI No. 32/34/2999, tampak seolah-olah regulasi penilaian aktiva produktif tidak mengakomodir ketentuan yang ditentukan dalam regulasi lain.
Begitu pula dalam pengelolaan likuiditas, bank syariah menghadapi kendala dalam mengendalikan likuiditasnya secara efisien. Kendala likuiditas ini karena kurangnya akses untuk memperoleh dana likuiditas dari Bank Sentral dan kurangnya akses Pasar Uang (Money Market). Dalam hal ini regulasi untuk pengelolaan likuiditas belum mengakomodasi kebutuhan operasional bank syariah.
Dalam sistem pengawasan, perbankan syariah membutuhkan pengawasan yang lebih spesial, karena prinsip dasarnya pada aspek moral dan kesesuaiannya dengan prinsip syariah. Pada satu sisi fungsi pengawasan dan regulasi adalah bagian penting yang harus diatur dalam UU perbankan syariah. Dalam aspek syariah, fungsi ini telah diemban oleh Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah yang ada di setiap bank syariah untuk memastikan pelaksanaan syariah dalam operasional perbankan syariah.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar dewan ini memiliki independensi, otoritas, dan wewenang yang jelas dalam struktur perbankan syariah nanti. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan otoritas pengaturan dan pengawasan dalam aspek operasional perbankan? Apakah Bank Indonesia masih cukup memiliki wewenang dan kompetensi dalam mengatur perbankan syariah atau perlu dibentuk sebuah komite khusus yang akan mengatur secara independen perbankan syariah. Persoalan-persoalan krusial itu harus bisa dijawab dalam UU perbankan syariah nanti.
Aturan-aturan lain yang belum diatur adalah ketentuan mengenai CAR (Capital Adequacy Ratio), instrumen likuiditas syariah, kualitas aktiva produktif (KAP), penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP), posisi devisa netto (PDN), prinsip kehati-hatian, sistem kolektibilitas pembiayaan syariah, rambu-rambu kesehatan perbankan syariah, transparansi kondisi keuangan bank, sistem akuntansi, aturan mengenai batas maksimum pemberian pembiayaan, fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP), dan manajemen likuiditas bank syariah.
Dengan perangkat perundangan yang sekarang ini yang timbul adalah munculnya praktik dual system banking, di mana dua bank yang berbeda secara prinsip dikelola dalam regulasi yang sama. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi pengembangan bank syariah karena hal ini memberi peluang tercampurnya secara manajemen dan aset bank syariah ke dalam bank konvensional. Secara fiqhiyyah hal ini menimbulkan masalah sebab menyangkut bercampurnya dua hal yang bertentangan secara hukum. Jika kondisi ini tidak diselesaikan secara proporsional, maka dikhawatirkan ciri-ciri syariah yang melekat akan hilang dan digantikan oleh perbankan konvensional. Pada akhirnya hal ini akan menimbulkan keragu-raguan dalam masyarakat, sehingga dapat mengancam kredibilitas perbankan syariah serta stabilitas ekonomi nasional.
Tidak boleh dilakukan oleh perbankan konvensional. Ijarah ini adalah kegiatan leasing yang dikenal dan dilakukan oleh multy finance company. Dalam transaksi ijarah, bank menyewakan aset yang sebelumnya dibeli oleh bank kepada nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui dimuka. Dalam pelaksanaannya, bank dapat
Prospek Perbankan Syariah Pasca UU No. 21 Tahun 2008.
Berdasar data Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bulan September 2003, jaringan kantor perbankan syariah (networking of Islamic Banks) hingga bulan Oktober 2003 adalah sebagai berikut:
Bank Umum Syariah (BUS/Islamic Commercial Banks):
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) memiliki:
a. Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 29 buah;
b. Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 8 buah; dan
c. Kantor Kas (KK) sebanyak 76 buah.
2. Bank Syariah Mandiri (BSM) memiliki:
a. Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 39 buah;
b. Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 8 buah; dan
c. Kantor Kas (KK) sebanyak 24 buah.
Sehingga dapat dijumlah sebagai berikut:
1. Kantor Pusat (KP) / Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 2 buah;
2. Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 68 buah;
3. Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 16 buah; dan
4. Kantor Kas (KK) sebanyak 100 buah.
Unit Usaha Syariah (Islamic Banking Unit)
1. Bank IFI baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 1 buah;
2. Bank Negara Indonesia memiliki Kantor Pusat Operasional (KPO)/ Kantor Cabang (KC) sebanyak 12 buah; dan Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 1 buah;
3. Bank Jabar baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 4 buah.
4. Bank Rakyat Indonesia baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 8 buah.
5. Bank Danamon baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 5 buah.
6. Bank Bukopin baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 2 buah.
7. Bank Internasional Indonesia baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 2 buah.
8. Hongkong Shanghai Banking Corporation (HSBC) baru memiliki Kantor Pusat dan Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 2 buah.
Sehingga dapat dijumlah sebagai berikut:
1. Kantor Pusat (KP) / Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 8 buah;
2. Kantor Pusat Operasional (KPO) / Kantor Cabang (KC) sebanyak 34 buah; dan
3. Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 2 buah.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Islamic Rural Banks) Kantor Pusat (KP) sebanyak 84 buah.
Total keseluruhan adalah:
(1) Kantor Pusat (KP)/Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 94 buah;
(2) Kantor Pusat Operasional (KPO)/Kantor Cabang (KC) sebanyak 102 buah;
(3) Kantor Cabang Pembantu (KCP) sebanyak 18 buah; dan Kantor Kas (KK) sebanyak 100 buah.
Pertumbuhan jaringan kantor pada tahun 2006 meningkat menjadi 456 buah. Sedangkan pada tahun 2007 ditandai dengan dua ciri menonjol. Pertama, maraknya pendirian Unit Usaha Syariah. Pada tahun 2007, telah beroperasi 6 Unit Usaha Syariah baru yakni BPD DIY, Bank Sulsel, Bank Nagari, Bank Jatim, Bank Ekspor Indonesia, dan Bank Lippo Syariah. Berdirinya keenam UUS tersebut melengkapi keberadaan 3 BUS, 20 UUS, serta 105 BPRS yang telah berdiri pada tahun 2006. Kedua, adanya policy time-lag dari berbagai kebijakan yang mempengaruhi perbankan syariah. Pada tahun 2007, berbagai kebijakan yang diprediksi akan mendorong pengembangan perbankan syariah seperti kebijakan office chanelling, kebijakan sosialisasi akselerasi perbankan syariah, penurunan BI rate, ternyata belum memberikan hasil yang sesuai dengan harapan terkait dengan pengembangan perbankan syariah.
Penyempurnaan kebijakan terkait Layanan Syariah/Office Chanelling yang tertuang dalam PBI No. 9/7/PBI/2007 tanggal 4 Mei 2007 belum dirasakan secara signifikan bisa memacu pertumbuhan perbankan syariah. Kebijakan ini memberikan kemudahan bagi bank syariah dengan diperbolehkannya menjual produk DPK, pembiayaan dan jasa bank syariah di kantor cabang dan kantor cabang pembantu bank induk konvensional. Implementasi di lapangan menemui berbagai tantangan dalam integrasi sistem IT, pelatihan perbankan syariah bagi staff bank konvensional dalam jumlah yang masif, serta belum tersosialisasi keberadaan layanan syariah secara riil kepada masyarakat. Ketiga, meningkatnya tingkat pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing / NPF).
Pembiayaan bermasalah perbankan syariah pada peridoe Januari – Agustus 2007, menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari 4,75% menjadi 6,63 %. Sampai dengan akhir tahun 2007, NPF perbankan syariah diperkirakan masih dalam level 6%. Peningkatan pembiayaan bermasalah perbankan syariah sehingga lebih tinggi dibanding NPL perbankan konvensional pada tahun 2007 ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diwaspadai industri perbankan syariah. Data menunjukkan bahwa selama kurun periode perbankan syariah berdiri sampai dengan awal tahun 2007, NPF perbankan syariah selalu lebih rendah dibandingkan dengan NPL perbankan konvensional.
Pada Oktober 2008 jaringan kantor perbankan syariah meningkat tajam menjadi 1440 buah. Jaringan kantor bank syariah telah menjangkau masyarakat di 33 provinsi dan banyak di kabupaten dan kota. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) menjadi 5 pada Tahun 2008. Pada 2009 diperkirkan akan bertambah 8 BUS lagi sehingga menjadi 12 buah.
Prospek perkembangan industri perbankan syariah Indonesia akan dipengaruhi oleh perkembangan permintaan masyarakat dan penyediaan jasa perbankan syariah oleh perbankan dan/atau investor serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua sisi supply dan demand tersebut, seperti upaya public education yang dilakukan oleh berbagai pihak, penyempurnaan regulasi dan dukungan pemerintah dan otoritas perbankan dalam mendorong perkembangan kantor bank syariah. Dari sisi demand dapat dilihat dari seberapa besar kelompok masyarakat yang menginginkan keberadaan dan kesediaan menggunakan jasa perbankan syariah, dan diharapkan demand tersebut akan dapat terus bertambah dengan meningkatnya pemahaman masyarakat. Sedangkan dari sisi supply dapat dilihat dari minat investor untuk masuk industri perbankan syariah, perkembangan jaringan kantor dan membaiknya kinerja keuangan dan profesionalisme perbankan syariah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konsepsi syariah dalam perbankan ini tentunya sangat relevan dengan dinamika perbankan nasional. Dengan konsep syariah yang diterapkan dalam perbankan syariah akan menjawab keterpurukan sistem ekonomi global yang gagal menjaga keseimbangan dan kemakmuran. Perbankan syariah relevan dengan dinamika perbankan nasional yang mempunyai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah merupakan gerbang terwujunya pembangunan nasional.
Peluang emas dalam membangun masa depan Ekonomi Syariah di Indonesia, diantaranya :
1. Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lahirnya Undang-Undang Sukuk Negara dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).
3. Pencapaian lebih 2 persen market share.
4. Peningkatan jumlah Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
B. SARAN
Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan penulis. Keluputan dan kekurangan adalah kodrat manusia. Maka dari itu makalah ini tentunya juga akan ada kekurangan dan kelebihan. Makalah ini masih banyak yang perlu dilengkapi terkait dengan perkembangan-perkembangan bank syariah pasca lahirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah selanjutnya akan mengalami perbedaan antara masa kini (sejak makalah ini dibuat) dengan masa yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar