Sejarah Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
I. Kedatangan Bangsa Bangsa Eropa
Sebelum
merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing.
Dimulai dari Portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509.
Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh
Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari
Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia melakukan berbagai perlawanan
terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah perlawan Fatahillah
yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil
memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu
nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Masa Bangsa Spanyol
Keberhasilan
Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk ikut mencari untung. Kalau
Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate, Spanyol lebih tertarik
bersekutu dengan Tidore. Terjadilah persaingan antara Portugis dan Spanyol di
kawasan Maluku. Spanyol kemudian membangun benteng di Tidore. Pembangunan
benteng ini semakin memperuncing persaingan persekutuan Portugis dan Ternate
dengan Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada tahun 1527 terjadilah pertempuran
antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore yang dibantu oleh
Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut oleh persekutuan
Ternate dan Portugis.
Portugis
dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan itu. Untuk
mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya menyepakati diadakanlah
Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain;
Maluku menjadi daerah pengaruh dan
kegiatan Portugis
Spanyol
harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri di Filipina
Perjanjian
ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku. Dalam melaksanakan
monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk menanamkan kekuasaan
di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate kemudian menentang
Portugis.
Masa Pemerintahan penjajah Belanda
Masa
penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke
Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan
Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia
dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun
1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan
inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC
mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya
VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti
yang isinya adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1.
Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada tanggal 1 Januari
1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah
VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels
sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat
Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun
masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes
van den Bosch. Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).
Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk
ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan (20%) dan
hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Masa
Pemerintahan penjajah Jepang
Setelah
350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia
digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang
melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang
dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang
membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang antara lain adalah
PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa
Hokokai (pengganti Putera).
Pada
awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa
Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan Negara
imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan
Italia. Sebagai Negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah
untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya.
Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan
industri Jepang. Apalah arti kemajuan industry apabila tidak didukung dengan
bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil
industri yang luas. Dengan demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara
Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah
Indonesia. Artinya, pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang
penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi
selama pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan
Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan.
Perlawanan rakyat terhadap penjajah
Perlawanan
terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di
daerah Cot Plieng Aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul
Jalil (seorang guru ngaji di daerah tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang
ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta
sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan
sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur
pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua,
berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang
berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil)
berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat
sedang shalat.
Perlawanan
lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur.
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr.
Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha
maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan.
Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di
samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan
prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan
yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel
Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan
pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya
disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Persiapan kemerdekaan
Pemerintahan
Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang
Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh
tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi
Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk
lebih menegaskan keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Soekarno,
Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir
telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan
menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Saat
Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir
mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap
hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap
saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada
Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang
memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan
pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para
pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak
berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara
itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar
Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak golongan
tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua
tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke
rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor
Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang
menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan
para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi
tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak
tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para
pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana berdiskusi dengan
Ibrahim dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih,
salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama
Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok,
yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di
Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar
Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda
untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah
tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des
Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk
pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai
tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
**Naskah
asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional (Gambar)
Perundingan
antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia berlangsung pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di
ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo.
Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir
B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas
nama bangsa Indonesia.
Teks
Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus
1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain
Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada
pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato
singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu
Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota
Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada
awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu
ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed
untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi
bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati
beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di
Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah
upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor
yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui
perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno
mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat
singkat kepada mereka.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD)
sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD
45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang
berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk
kemudian.
Setelah
itu Soekarno dan M. Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan
persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
yang pertama.
“B. Sejarah Indonesia Sesudah
Merdeka”
Konflik Indonesia dan Belanda
Atas
nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung
Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah
maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan
tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia
mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya
pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah
negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai
Wakil Presiden.
Semula
rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka
mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands
Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook
ikut di dalamnya,sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA
adalah organisasi yang didirkanorang-orang Belanda yang melarikan diri ke
Australiasetelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan
dan berpusat di Australia.
Keadaan
bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas Oleh
Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia
menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA
dan Sekutu. Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied
Forces Netherlands East Indies (AFNEI) ternyata memiliki agenda yang
terselubung. Kedatangan pasukan Sekutu justru diboncengi oleh NICA yang tidak
lain adalah orang-orang Belanda yang ketika Jepang dating melarikan diri ke
Australia dan membentuk kekuatan di sana. Mereka memiliki keinginan untuk
menghidupkan kembali Hindia Belanda. Dengan demikian sikap Indonesia yang
semula menerima kedatangan Sekutu menjadi penuh kecurigaan dan kemudian
berkembang menjadi permusuhan.
Pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya
Peristiwa
di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kedatangan
pasukan Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Khusus untuk Surabaya,
Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian dari divisi ke-23 Sekutu. Brigade
49 dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober 1945. Pada mulanya
pemerintah Jawa Timur enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian dibuat
kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.
Suryo
dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah sebagai berikut.
1) Inggris berjanji tidak mengikutsertakan
angkatan perang Belanda
2) Menjalin kerja sama kedua pihak untuk
menciptakan kemanan dan ketentraman
3)
Akan dibentuk kontrak biro
4) Inggris akan melucuti senjata Jepang
Dengan
kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota Surabaya. Ternyata pihak
Inggris ingkar janji. Itu terlihat dari penyerbuan penjara Kalisosok 26 Oktober
1945. Inggris menduduki pangkalan udara Tanjung Perak tanggal 27 Oktober 1945,
serta menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa
Timur menyerahkan senjatasenjata mereka. Kontrak senjata antar Sekutu dan
rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945. Karena terjadi kontak
senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden
Moh. Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak merumuskan hasil
perundingan sebagai berikut.
1) Surat-surat selebaran/pamflet dianggap
tidak berlaku
2) Serikat mengakui keberadaan TKR dan
Polisi Indonesia
3) Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga
oleh Serikat, sedangkan kamp-kamp tawanan dijaga bersama-sama Serikat dan TKR
4) Tanjung Perak dijaga bersama TKR, Serikat,
dan Polisi Indonesia
Walaupun
sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota Surabaya
tetap terjadi bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang
bersenjata. Pertempuran seru terjadi di Gedung Bank Internatio di Jembatan
Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan A.W.S.
Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan Serikat. Karena
begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal, yaitu
meninggalnya A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing.
Peristiwa
ini terjadi tanggal 30 Oktober 1945. Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak
Inggris memperingatkan rakyat Surabaya dan meminta pertanggungjawaban. Mereka
mengancam agar rakyat Surabaya menyerah dan akan dihancurkan apabila tidak
mengindahkan seruan itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas dendam atas
pembunuhan A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang
ditentukan. Disamping itu, pemuda bersenjata harus menyerahkan senjatanya.
Ultimatum Inggris itu secara resmi ditolak rakyat Surabaya melalui pernyataan
Gubernur Soerjo. Karena penolakan itu, pertempuran tidak terhindarkan lagi,
maka pecahlah pertempuran pada tanggal 10 November 1945.
Sekutu
mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat. Peristiwa heroik ini
berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran
radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang memakan
korban banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan
setiap tanggal 10 November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia
yang berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya sekaligus
mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
ini berlangsung tanggal 20 November sampai dengan 15 Desember 1945 antara TKR
dan pasukan Inggris. Peristiwa itu berawal dari kedatangan tentara sekutu di
Semarang tanggal 20 Oktober 1945. Tujuan semula pasukan itu adalah mengurus
tawanan perang. Akan tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh NICA yang kemudian
mempersenjatai para tawanan.
Di
Ambarawa tanggal 20 Oktober 1945 pecahlah pertempuran antara TKR yang dipimpin
Mayor Sumarto dengan tentara Serikat. Dalam pertempuran itu gugur Letkol
Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Kolonel Isdiman, komando
pasukan diambil alih oleh Letnan Kolonel Sudirman yang saat itu menjabat sebagi
panglima divisi Banyumas. Pasukan Serikat menggunakan para tawanan Jepang yang
telah dipersenjatai untuk ikut bertempur. Mereka juga mengerahkan tank dan
senjata berat lainnya.
Pada
tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia melancarkan serangan serentak.
Setelah bertempur selama empat hari, akhirnya pasukan Indonesia berhasil
mengusir tentara Serikat dari Ambarawa dan memukul mundur mereka sampai
Semarang.
III. Medan Area
Mr.
Teuku M. Hassan yang telah diangkat menjadi gubernur mulai membenahi daerahnya.
Tugas pertama yang dilakukan Gubernur Sumatera ini adalah menegakkan kedaulatan
dan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk wilayah Sumatera. Oleh karena
itu, mulai dilakukan pembersihan terhadap tentara Jepang dengan melucuti
senjata dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Pada tanggal 9 Oktober 1945, di
Medan mendarat pasukan Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para Pemuda Indonesia
dan Barisan Pemuda segera membentuk TKR di Medan. Pertempuran pertama pecah
tanggal 13 Oktober 1945 ketika lencana merah putih diinjak-injak oleh tamu di
sebuah hotel. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut sehingga
mengakibatkan 96 korban luka-luka. Para korban ternyata sebagian orang-orang
NICA. Bentrokan antar Serikat dan rakyat menjalar ke seluruh kota Medan.
Peristiwa kepahlawanan ini kemudian dikenal sebagai pertempuran “Medan Area”.
Bandung Lautan Api
Istilah
Bandung Lautan Api menunjukkan terbakarnya kota Bandung sebelah selatan akibat
politik bumi hangus yang diterapkan TKR. Peristiwa itu terjadi tanggal 23 Maret
1946 setelah ada ultimatum perintah pengosongan Bandung oleh Sekutu. Seperti di
kota-kota lainnya, di Bandung juga terjadi pelucutan senjata terhadap Jepang.
Di pihak lain, tentara Serikat menghendaki agar persenjataan yang telah
dikuasai rakyat Indonesia diserahkan kepada mereka. Para pejuang akhirnya
meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumihanguskan kota Bandung.
Peristiwa tragis ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.
Tragedi Nasional (Masa Orde Lama)
Tragedi
nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia.
Tragedi ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan menyengsarakan
rakyat Indonesia. Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa Indonesia
sekaligus merupakan ancaman, tantangan dan hambatan. Peristiwa-peristiwa
tersebut sangat mengganggu upaya menata kembali bangsa Indonesia setelah
mencapai kemerdekaan.
Pemberontakan PKI Madiun 1948
Peristiwa
Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukn Fron Demokrasi Rakyat (FDR) pada
tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa partai seperti partai
Sosialis, Pesindo, partaiBuruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa Madiun itu diawali
dari kota Solo yang dilakukan oleh para pengikut Muso dan Amir SyarifuddinPada
tahun 1948 Muso kembali dari Rusia. Sekembalinya itu Musobergabung dengan
Partai Komunis Indonesia. Ajaranyang diberikan pada para anggota PKI adalah
mengadu domba kesatuan nasional denganmenyebarkan teror. . Pada tanggal 18
September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI memproklamirkan berdirinya Republik
Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh politiknya dibunuh oleh PKI.
Dengan
terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan segera mengambil
tindakan tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah pemerintah
mengangkat Gubernur Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi Semarang,
Pati dan Madiun. Walaupun dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam peristiwa
Madiun menelan banyak korban, namun tindakan itu demi mempertahankan
Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda melakukan agresi terhadap Republik
Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan melaukan pemberontakan yang
sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.
Pemberontakan RMS (Republik Maluku
Selatan)
Salah
seorang yang juga menjadi dalang dalam pemberontakan Andi Aziz adalah Dr. Chr.
R.S. Soumokil datang ke Ambon. Ketika itu Soumokil menjabat sebagai Jaksa Agung
Negara Bagian Indonesia Timut (NIT). Dia mempengaruhi pada anggota KNIL agar
membentuk Republik Maluku Selatan (RMS). RMS kemudian diproklamasikan pada
tanggal 25 April 1950. Pemerintah berusaha mengakhiri teror yang dilakukan oleh
gerombolan RMS terhadap rakyat Maluku Tengah. Walaupun sudah dilakukan upaya
damai, namun RMS tetap melakukan terror terhadap rakyat.
Pemerintah
kemudian mengambil jalan dengan mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan
tersebut. Pada 14 Juli 1950 pasukan dari APRIS mulai mendarat di Maluku. Pada
bulan Desember 1950 seluruh Maluku Tengah dapat dikuasai oleh APRIS. Para
pemberontak melarikan diri ke pulau Seram. Pada tanggal 2 Desember 1953
Somoukil dapat ditangkap dan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa dia dijatuhi
hukuman dengan pidana mati.
III. Gerakan 30 September 1965 (G.30
S / PKI)
Sebagai
fakta sejarah setiap orang Indonesia tidak akan melupakannya, bahwa di negara
ini pernah terjadi peristiwa di tahun 1965 yang dikenal dengan nama Gerakan 30
September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30 S/PKI) . Pada dini
hari 1 Oktober 1965 mereka membunuh enam perwira tinggi dan seorang perwira
pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke Desa Lubang Buaya sebelah Selatan
pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Mereka itu adalah:
Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad yani
Deputy
II Men/Pangad, Mayor Jenderal R. Soeprapto
Deputy
III Men/Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
Asisten
I Men/Pangad, Mayor Jenderal Siswodo Parman
Asisten
IV Men/Pangad Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan
Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo
Siswomihardjo.
Letnan
Satu Pierre Andrean Tendean
Peristiwa
G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno,
bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik peristiwa tersebut. Aksi-aksi
tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin
meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan
pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Aksi mogok demonstrasi mulai
dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia.
Di
samping itu juga mereka melakukan aksi corat-coret serta tempelantempelan pada
kendaraan-kendaraan bermotor yang antara lain berbunyi mengecam kepemimpinan
Soekarno dan PKI. Mereka bertekad akan terus mogok sampai tuntutan mereka
terpenuhi. Khususnya kendaraan-kendaraan ABRI diberi jalan dan disambut dengan
meriah “hidup ABRI”. Peranan Amerika nampaknya besar di balik peristiwa ini,
sebagai introspeksi diri bahwa semua ini terjadi karena kondisi politik di
dalam negeri tidak stabil. Dari aksi para mahasiswa tersebut menghasilkan
sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yang isinya:
Bubarkan
PKI dan ormas-ormasnya yang bernaung dibawahnya
Bersihkan
Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI
Turunkan
harga/perbaikan ekonomi
Untuk
menjawab tuntutan tersebut maka Kabinet Dwikora mengadakan sidangnya di Istana
Negara pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 yang dipimpin oleh Soekarno.
Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir, kecuali Menteri
Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto karena sakit flu.
Presiden
Sukarno mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan liar dengan
kekuatan satu kompi mengepung istana. Ia langsung berhenti memimpin sidang,
kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sidang kemudian dilanjutkan oleh Dr.
Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan sidang ini gagal.
Melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud dan
Brigjen M.Yusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana kepada Letjen
Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada Menteri/Pangad untuk
menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi sebenarnya di
Jakarta.
Sore
hari ketiga perwira itu menghadap Presiden yang didampingi oleh Dr. Soebandrio,
Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu ke Bogor disusul oleh ajudan
Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur. Ketiga perwira ini mencoba menyakinkan
presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai siatuasi dewasa ini
ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden memberikan wewenang
kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah pengamanan dan penertiban
keadaan.
Dan
setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya
Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 memberikan surat perintah kepada
Letnan Jenderal Soeharto, surat mini dikenal dengan nama Supersemar. Secara
umum Supersemar mempunyai arti penting, di antaranya:
Keluarnya
Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
Dengan
Supersemar menyebabkan Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Berlandaskan
Supersemar Letnan Jenderal
Soeharto
harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada perjalanan
hidup bangsa dan negara.
SEJARAH PROKLAMASI NEGARA INDONESIA
Pada
tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang
oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di
seluruh dunia.
Pada
tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga
menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno,
Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah
timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan
bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia.
Pada
tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa
Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Pada
tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,
mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan
segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat
dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian
Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua
hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari
Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang,
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi
kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan
dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
Pada
tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan
Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan
mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Setelah mendengar
desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak
ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada
saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan
muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita
sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno
dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di
Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat
atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi
serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya Soekarno dan Hatta
segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari
kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat
PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Pada
dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Para pemuda pejuang termasuk Chaerul saleh,
Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih dan pemuda lainnya membawa soekarno, beserta
fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan dan hatta ke rengasdengklok yang
kemudian dikenal dengan peristiwa rengasdengklok.
Tujuannya
adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang. Di
sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo
ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke
Jakarta. Dan Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak
terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Malam
harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, Lalu bertemu dengan Mayor
Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer
Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945
telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak
dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia
sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno
dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap
seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh
Sekutu. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana
Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Penyusunan
teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan
disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Dan Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas
nama bangsa Indonesia.
Setelah
konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut
menggunakan mesin ketik milik Mayor Dr. Hermann Kandeler (dari kantor
perwakilan AL Jerman). Dan pembacaan proklamasi dilakukan dikediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan
disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah
dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan oleh seorang prajurit PETA yaitu Latief
Hendraningrat dibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi membawa nampan berisi
bendera Merah Putih. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di
Museum TuguMonumenNasional.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD)
sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD
45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang
berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk
kemudian.
Setelah
itu Soekarno dan M. Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan
persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite
Nasional
KRONOLOGI PERUMUSAN PANCASILA DASAR
FILSAFAT NEGARA, PEMBUKAAN DAN PASAL-PASAL UUD 1945
Pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
(BPUPKI)
beranggotakan sebanyak 63 orang, dengan ketua dr. Rajiman Wedyiningrat dan
wakil ketua Icibangase dari Negara Jepang. Sekretarisnya adalah R.P. Soeroso.
Anggota (BPUPKI) resmi diumukan pada tanggal 28 April 1945 dan upacaranya
dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon Jakarta (sekarang Gedung
Departemen Luar Negeri).
Masa
Persidangan Pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)
Masa
persidangan pertama kali yang diselenggarakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu dimulai pada tanggal 29 Meti
1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam persidangan BPUPKI membahas tentang dasar-dasar
Negara untuk bisa bangsa Indonesia merdeka, bebagai pendapat telah dikemukakan.
Berikut Pedapat yang di sampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo dan Ir.
Soekarno dalam sidang BPUPKI:
Mr. Mohammad Yamin
Menyampaikan
pendapatnya pada tanggal 29 Mei 1945 dengan judul “Asas dan Dasar Negara
Kebangsaan Republik Indonesia” yang berintikan sebagai berikut :
Peri
kebangsaan
Peri
kemanusiaan
Peri
ketuhanan
Peri
kerakyatan
Kesejahteraan
rakyat
Mr. Supomo
Menyampaikan
pendapatnya pada tanggal 31 Mei 1945 tentang masalah-masalh yang berhubungan
dengan dasar-dasar Negara Republik Indonesia merdeka, yang berdasarkan atas
beberapa hal dan diberi nama Pancasila, dan kemudian pada tanggal 1 Juni
diperingatilah sebagai hari lahirnya Istilah Pancasila, Berikut beberapa hal
yang disampaikan oleh Mr. Supomo :
Persatuan
Kekeluargaan
Musyawarah
Keadilan
sosial
Ir. Soekarno
Pada
tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya di hadapan sidang hari
ketiga Badan Penyelidik. Dalam pidato itu dikemukakan/diusulkan juga lima hal
untuk menjadi dasar-dasar Negara Merdeka yang perumusan serta sistematikanya
sebagai berikut :
1.
Kebangsaan Indonesia
2.
Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.
Mufakat atau Demokrasi
4.
Kesejahteraan Sosial
5.
Ketuhan yang berkebudayaan
Masa
Persidangan kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)
Setelah
masa persidangan pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei–1 Juni 1945 berakhir, namun
belum juga mendapatkan atau belum terbentuk juga rumusan dasar Negara Indonesia
merdeka, maka BPUPKI akhirnya membentuk panitia untuk menampung aspirasi
tentang pembentukan atau rumusan dasar Negara Indonesia merdeka yang
beranggotakan 9 orang, diantaranya adalah Ir. Sukarno (ketua), Abdulkahar
Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H. Agus
Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A. A. Maramis. Pada akhirnya
panitia 9 itu berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia merdeka pada tanggal
22 Juni 1945 dan rumusan itu diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter
oleh Mr. Moh. Yamin.
Pada
tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI melangsungkan persidangan yang kedua untuk
membahas rancangan UUD dan dibentuklah panitia perancangan UUD yang pimpin oleh
Ir. Soekarno. Kemudian panitia tersebut membentuk sebuah kelompok kecil yang
beranggotakan 7 orang dengan ketua Mr. SUpomo dengan 6 anggotanya yaitu :
Wongsonegoro, Ahmad Subarjo, Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman. Setelah hasil
didapat dan sudah disempurnakan oleh penghalus bahasa kemudian hasil perumusan
UUD tersebut disampaikanlah atau dilaporkan oleh Ir.Soekarno di sidang BPUPKI
pada tanggal 14 Juli 1945 yang berisikan 3 hal pokok yaitu, pernyataan
Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, dan undang-undang dasar
(batang tubuh). Pada tanggal 15-16 Juli 1945 diadakan kembali sidang untuk
menyusun undan-undang dasar yang berdasarkan hasil kerja panitia sembilan,
kemudian pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkanlah hasil kerja penyusunan
undang-undang dasar dan akhirnya laporan tersebut diterima sidang pleno BPUPKI.
Pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia
Pada
tanggal 07 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dibubarkan oleh Jepang, kemudian Jepang membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menindaklanjuti hasil kerja
BPUPKI. PPKI dibentuk dengan anggota sebanyak 21 orang yang diketuai atau
dipimpin oleh Ir. Soekarno, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 pimpinan atau
ketua PPKI Ir. Soekarno menambahkan anggota untuk menindaklanjuti hasil kerja
BPUPKI yaitu sebanyak 6 orang, sehingga total anggota dari panitia PPKI ini
adalah 27 orang, yaitu diantaranya Ketua Ir. Soekarno, wakilnya Drs. Moh.
Hatta, dan penasihatnya Ahmad Subarjo. Adapun anggotanya adalah Mr. Supomo, dr.
Rajiman Wedyodiningrat, R.P. Suroso, Sutardjo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Ki
Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Suryohamijoyo, Abdul Kadir, Puruboyo, Yap
Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir, Abdul Abbas, Teuku Moh. Hasan, Hamdani, Sam
Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti Ktut Pudja, Wiranatakusumah, Ki Hajar
Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, dan Iwa Kusumasumantri.
Proses Penetapan Dasar Negara dan
Konstitusi Negara Indonesia
Sidang
pertama kali PPKI dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan pembahasan
konstitusi Negara Indonesia yaitu, Presiden dan Wakil Presiden Negara Indonesia
beserta lembaga-lembaga yang dibentuk untuk membantu tugas Presiden Indonesia.
Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan
pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat ”… dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat
”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo,
Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Dan pada
akhirnya para tokoh PPKI mendapatkan hasil dengan menghilangkan kalimat
tersebut dengan untuk tidak mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara diatas
kepentingan pribadi dan golongan, begitulah semangat rasa nasionalisme dan jiwa
besar yang ditunjukkan oleh para tokok PPKI.
Perbedaan dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Pada
tanggal 18 Agustus 1945 sidang pertama PPKI rancangan UUD hasil kerja dari
BPUPKI dibahas kembali, Pada sidang pembahasan itu terdapat 2 usul perubahan
yang diberikan oleh kelompok Muh. Hatta, 2 usul tersebut berisikan seperti
dibawah ini :
1)
Usul yang pertama, berkaitaan dengan sila perta yang semulanya berbunyi
“”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2) Usul yang kedua, ab II UUD Pasal 6 yang
semula berbunyi ”Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah
menjadi ”Presiden ialah orang Indonesia asli”.
Dan
akhirnya 2 usulan yang disampaikan oleh Muh, Hatta diterima dan disahkan oleh
PPKI sebagai UUD Negara Indonesia (UUD 1945) yang di umumkan dalam berita
Republik Indonesia pada tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45-48.
Sistematika
Undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) itu terdiri atas 3 hal, yaitu :
1) Pembukaan (mukadimah) UUD 1945 terdiri
atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945 tercantum Pancasila sebagai dasar
negara yang berbunyi sebagai berikut:
Pancasila
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Persatuan
Indonesia.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16
bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.
3) Penjelasan UUD 1945 terdiri atas
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Rumusan
Dasar Negara Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang sah
dan benar, karena disamping mempunyai kedudukan Konstitusional juga disahkan
oleh suatu Badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia (PPKI) yang berarti
disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar